Jakarta (ANTARA News) - Irjen Pol Djoko Susilo jarang bersuara saat sidang pemeriksaan saksi, dan hanya ada dua momen saat jenderal bintang dua itu bercerita mengenai kasusnya dengan panjang lebar, salah satunya saat pembacaan nota pembelaan (pledoi).

Pembacaan pledoi Djoko pada Selasa (27/8) pun diwarnai dengan curahan hati Djoko mengenai ketidakadilan yang ia dan keluarganya alami karena kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang, penyebutan sederet prestasi Djoko selama bertugas di Korps Lalu Lintas Polri ditambah dengan penemuan selembar uang 100 dolar AS dalam buku lampiran pledoi yang diberikan ke jaksa penuntut umum.

"Saya harus berpisah dengan orang-orang yang saya cintai, istri dan anak saya menjadi korban, saya berusaha menenangkan mereka dengan mengatakan hal ini terjadi atas izin Allah," kata Djoko yang kemudian terdiam beberapa detik untuk menenangkan diri dari air mata yang meluncur dari matanya.

DJoko mengungkapkan hal itu tanpa menjelaskan istri dan anak mana yang ia maksudkan, apakah istri pertamanya Suratmi yang memberikan DJoko tiga anak yaitu Poppy Femialya, Arie Andhika Silamukti dan Meixhin Sheby Adyaning Wara Susilo atau Mahdiana binti Djaelani yang juga dikaruniai tiga orang anak atau istri ketiga Dipta Anindita yang punya satu orang anak laki-laki.

Djoko yang mengenakan kemeja batik dengan warna dasar kuning tersebut kemudian memberikan satu pepatah yang menunjukkan kondisinya saat ini.

"Saya merasakan kehancuran yang luar biasa, bagai kata pepatah, kondisi saya saat ini sudah berubah total `from hero to zero`, karir dan perjalanan kehidupan yang telah saya bangun selama berpuluh tahun, rasanya telah hancur dalam seketika saat ini," ungkap Djoko.

Djoko mengungkapkan bahwa ia dan seluruh keluarga berserta kolega merasa terkejut luar biasa, "shock", terpukul, hancur perasaannya, "down", karena tingginya tuntutan penuntut umum.

Djoko dalam perkara ini dituntut pidana penjara selama 18 tahun dan denda Rp1 miliar, subsidiair satu tahun kurungan serta membayar pidana uang pengganti sebesar Rp32 miliar subsidair penjara selama lima tahun dan pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

"Bila keadilan yang ada di dalam diri kita diambil oleh orang lain, percayalah Allah SWT, akan mengembalikannnya berlipat ganda, Bila masalah ini tidak dihadapi dengan ikhlas dan hati yang lapang, justru akan membuat kita semakin tertekan," tambah Djoko.

Djoko mengungkapkan bahwa ia dituduh melakukan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011 padahal ia tidak pernah mengetahui adanya permasalahan dalam proyek pengadaan tersebut.

"Kesalahan saya adalah tidak teliti, ada kelemahan manajerial dan kurang pengawasan terhadap unit kerja yang mengurus pengadaan simulator karena saya sudah percaya dan tidak lagi memeriksa hasil pekerjaan anggota, mereka punya kompetensi dan sertifikasi pengadaan, ditambah padatnya jadwal kegiatan saya sepagai Kakorlantas," kata Djoko.

Artinya, Djoko mengaku hanya bersedia bertanggung jawab sepanjang kewenangannya sebagai Kakorlantas dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek tapi tetap tidak mengakui bahwa ia mengintervensi panitia pengadaan dan menentukan pemenang tender simulator dengan nilai proyek berjumlah Rp196,8 miliar tersebut.

"Penuntut umum seolah-olah membebankan tanggung jawab kepada saya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), padahal dalam proyek ini juga belum jelas batas-batas kewenangan KPA dan terungkap dalam persidangan bahwa saya tidak pernah berhubungan dengan pemenang tender, mengintervensi panitia pengadaan dan menentukan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)," ungkap Djoko.

Djoko juga mengaku terkejut dengan pelanggaran hukum yang terungkap dalam proyek pengadaan simulator SIM tersebut.

"Sepanjang saya ketahui semua sudah ditangani dengan baik dalam proyek pengadaan itu dan dilaporkan tanpa ada permasalahan apapun, saya hanya tahu permasalahan saat pemenang tender PT CMMA gagal melaksanakan kewajibannya tepat waktu, saya langsung memerintahkan Didik Purnomo selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan Teddy Rusmawan selaku ketua pengadaan untuk mengambil tindakan tegas dan sudah didenda sejumlah Rp2,5 miliar hanya itu permasalah hukum yang pernah saya ketahui," ungkap Djoko.

Terkait uang Rp32 miliar yang dituduhkan jaksa diterima olehnya juga dibantah Djoko.

"Budi Susilo juga mengatakan tidak pernah membicarakan atau memberikan uang Rp30 miliar kepada saya, sehingga mematahkan dakwaan yang hanya bersumber dari Teddy Rusmawan," ungkap Djoko.

Namun Djoko tidak banyak menjelaskan mengenai tuduhan tindak pidana pencucian uang yang juga dituduhkan jaksa kepadanya.

"Harta saya yang sudah sudah saya kumpullan sejak lama dengan cara usaha legal dan tanpa korupsi jauh sebelum 2011, bahkan pada pada perkara TPPU penyidik menyita harta yang tidak terkait dengan perkara pokok, saya mohon agar majelis hakim mengembalikan aset saya dan keluarga yang tidak terkait dengan masalah hukum saya," tambah Djoko.

Bintang jasa
Padahal Djoko selama bertugas di Direktorat Korlantas Polda Metro Jaya dan kemudian di Korlantas Polri telah melakukan berbagai pembangunan dan perbaikan dalam pengaturan lalu lintas.

Program-program tersebut adalah pembangun program TMC (Traffic Management Center) Polda Metro Jaya, memasang Closed-circuit television (CCTV) di berbagai lokasi Jakarta, pencetusan pelayanan SIM keliling, pelayanan SIM Komunitas, pelayanan gerai SIM, pelayanan Samsat keliling, pelayanan gerai STNK dan STNK door to door.

Program lain adalah NTMC (National Traffic Management Centre), program sepeda motor wajib lajur kiri dan wajib menyalakan lampu pada siang hari, menetapkan lokasi `car free day` di seluruh Indonesia, `safety riding`, pusat manajemen lalu lintas dengan layanan SMS 24 jam, layanan Radio Suara Metro, pemasangan GPS (Global Position System) pada mobil patroli Polda Metro Jaya dan sistem tombol panik untuk penanganan tercepat pada objek vital.

Atas kineranya tersebut, Djoko dan Dirlantas Polri mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah misalnya Piala Citra Pelayanan Prima Unit Kerja Samsat dan Satpas (Satuan Pelaksana Administrasi SIM), sertifikasi ISO 9001, Satya Lencana Yana Utama, Ksatria Bhayangkara (Ksatria Tamtama), Bintang Bhayangkara Nararya serta Bintang Bhyangkara Pratama.

Djoko bahkan mengklaim dapat meningkatkan penerimaan negara dari Dirlantas mulai Rp1,3 trilun saat awal menjabat hingga Rp2,3 triliun pada 2010 bahan Rp3,3 triliun pada 2011.

"Saya sendiri, baik selaku pribadi maupun sebagai anggota kepolisian mempunyai semangat untuk menegakkan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi dan pencucian uang, saya sama sekali tidak mempunyai pemikiran untuk menghalang-halangi prosedur hukum, apalagi menutup-nutupi fakta yang sebenarnya," ungkap Djoko.

Ia bahkan mengklaim bahwa ia yang meminta Korlantas Mabes Polri agar gugatan perdata terhadap KPK segera dicabut dan segala bentuk gesekan yang pernah terjadi dan disebut sebagai perseteruan "Cicak vs Buaya Jilid 2", segera dihentikan.

Artinya menurut Djoko, pengadaan 700 unit untuk driving simulator R2 dengan harga Rp80 juta/unit dan 556 unit untuk driving simulator R4 seharga Rp260 juta/unit sudah berdasarkan kebutuhan dan anggaran yang tersedia di Korlantas Polri.

Sayangnya pledoi yang berupaya untuk menunjukkan Djoko sebagai orang yang berjasa kepada Indonesia dan bukan selaku aktor intelektual korupsi dalam proyek senilai Rp196,8 miliar tersebut ternodai dengan insiden terselipnya selembar uang dolar dengan nilai 100 dolar AS di lampiran pledoi untuk jaksa penuntut umum KPK.

"Sebelum dilanjutkan, dalam buku buku yang tadi dilampirkan ternyata ada selembar uang 100 dolar AS, saya tidak mengerti dolar apa ini, tapi ada 100 dolar AS terselip di dalam," kata ketua jaksa penuntut umum KPK Kemas Abdul Roni.

"Kami tidak mengerti makna 100 dolar AS itu dan saya tegaskan tadi uang itu tidak ada," ungkap salah satu pengacara Djoko, Tommy Sihotang.

Ketua majelis hakim Suhartoyo kemudian meminta klarifikasi dari Djoko.

"Karena barang itu berasal dari saudara, yang bapak mau sampaikan apa dengan memberikan buku ini? Kalau ada kaitan temuan uang dolar tidak ada maksud kesengajaan?" tanya Suhartoyo.

"Sebagai lampiran nota pembelaan pribadi saya, sebagai profil, saya yakin tidak ada majelis," kata Djoko sedikit terkejut mendapati uang dolar tersebut.

"Tapi faktanya terlampir ada uang, apa karena uang dolar sedang mahal? Tolong ambil saja," kata Suhartoyo.

Namun jaksa KMS Roni mengatakan ingin mencari tahu motif pemberian uang itu.

"Mungkin belum bisa kembalikan hari ini, nanti pimpinan juga langsung menonton, saya mau tahu apa motif dibalik ini," ungkap KMS Roni.

Suhartoyo akhirnya memutuskan agar uang itu dikembalikan.

"Kalau begitu kembalikan saja, karena nanti jadi kontraproduktif dengan keinginan terdakwa menyampaikan sisi kebaikannya untuk meringankan, kenapa bapak tidak kontrol dulu? Meski ini kami kembalikan kamis sudah mengerti pesan yang mau disampaikan terdakwa dengan melampirkan profil selama menjadi Kakorlantas," jelas Suhartoyo.

Suhartoyo bersama empat anggota hakim lain pun punya waktu maksimal dua minggu untuk memutuskan vonis bagi Djoko.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013