...andaikan saja saya ini mati dan bisa dilahirkan kembali, saya juga akan tetap memilih menjadi guru lagi. Guru itulah kebanggaan saya"
"Kalau diuji dengan undang-undang, ya masyarakat kecil akan jelas kalah, karena mereka enggak mungkin bisa masuk peradilan, jadi social justice (pembelaan di luar peradilan) itu penting buat mereka daripada legal justice (pembelaan di peradilan)".

Ungkapan itu sering keluar dari mulut Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga Surabaya Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA itu ketika membela pedagang kaki lima yang mangkal di sekitar rumahnya di lingkungan kampus B Universitas Airlangga, dari penggusuran.

Atau, ketika ia membela tukang becak di Jakarta yang akan diusir dari satu kawasan ketika ia ikut dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dan menjadi saksi ahli dalam sejumlah sidang perlawanan warga miskin kota melalui jalur hukum di pengadilan atau Mahkamah Konstitusi.

Almarhum lebih melihat hukum dalam konteks responsive law yang berpihak pada keadilan.

Tidak hanya itu, almarhum juga mempraktikkan kesahajaan dalam hidupnya. Tidak jarang, almarhum kerap berjalan kaki dari rumah dinasnya di Jalan Dharmawangsa 3, Surabaya, ke kampus yang berjarak sekitar 400-an meter.

Namun, kesahajaan itu tak akan pernah ada lagi, karena guru HAM itu telah mengembuskan napas terakhir di RS St Elisabeth Semarang hari ini pukul 07.10 WIB akibat serangan stroke.

"Sejak enam tahun terakhir, kakak saya memang wira-wiri (pulang-pergi) Surabaya-Semarang, karena beliau mengajar di Undip," timpal adik kandung almarhum, Sritomo Wignjosoebroto, di rumah duka Jalan Dharmawangsa 3, Surabaya.

Menurut aktivis mahasiswa era 1970-an itu, kakaknya yang adalah pendiri Fisip Unair pada 1977 itu meninggal dunia setelah dua kali terkena serangan stroke sejak enam bulan terakhir.

"Awalnya, serangan stroke hanya mengenai mata beliau dan akhirnya membaik, tapi sebelum Lebaran justru menyerang kakinya dan tanggal 26 Agustus lalu mulai ada keluhan mual hingga kritis akibat pembengkakan di otak kecil dan mengalami penyumbatan darah otak," paparnya.

Akhirnya, kakaknya yang dikenal sebagai sosiolog hukum yang pernah mengambil Socio Legal Theoris and Methods di Srilanka pada 1973 itu pun tutup usia.

Kakaknya yang banyak mengajarkan pentingnya hukum dari sisi keadilan, bukan hukum secara yuridis formal itu pun tutup usia.

"Senin siang, jenazah almarhum dibawa ke Surabaya lewat jalur darat. Pukul 17.45 WIB, jenazah tiba dan disemayamkan di rumah duka dulu," kata dia.

Selasa subuh nanti, jenazah dibawa ke Masjid Nuruzzaman untuk dishalatkan dan akhirnya disemayamkan di Aula Fisip Unair untuk dilepas para kolega ke pemakaman di TPU Keputih, Surabaya.

Almarhum yang lahir di Madiun pada 19 November 1932 ini meninggalkan tiga putri dan lima cucu, sedangkan istrinya Asmaningsih meninggal dunia terlebih dulu pada 10 Juni 2005.

Ketiga putrinya adalah Sawitri Dharmastuti, Saraswati Paramastuti, dan Titisari Pratiwi.

Sang guru

Bagi adiknya yang baru saja pensiun dari dosen Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Soetandyo yang pernah menjadi anggota Komnas HAM 1993-2002 dan penerima Yap Thiam Hien Award (2011) adalah kakak, pengganti ayah, guru dan juga idola serta kebanggaan keluarga.

"Saya pernah bekerja di dunia perminyakan, tapi akhirnya saya tinggalkan dan saya mengajar di almamater (ITS), karena saya melihat kakak saya begitu bersemangat dengan profesinya. Kalau kakak saya yang dosen saja bisa mendidik saya seperti ini, masak saya tidak bisa," imbuhnya.

Sembari terisak, Sritomo mengenang kakaknya sebagai sosok yang menyayangi adik-adiknya dan anak-anaknya.

"Almarhum merupakan sosok panutan setelah ayah, karena kakak saya itu mengajarkan pentingnya hidup akur dan tidak neko-neko, urip sing lurus ae. Prinsip akademis dan prinsip hidupnya itulah yang mewarnai nilai-nilai kehidupan kami," ulasnya.

Sebagai guru, kakaknya masih sempat memintanya mencarikan buku yang baru diterima selang seminggu menjelang tutup usia.

"Buku `Pesan dari Pemimpin` yang merupakan kumpulan tulisan tokoh-tokoh nasional itu berisi pesan untuk calon-calon pemimpin. Ada tulisan kakak saya di buku terbitan Tempo yang belum beredar luas itu," kilahnya.

Kenangan serupa juga diungkapnya mantan muridnya yang juga asistennya di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Surabaya, Sari Mandiana.

"Almarhum merupakan dosen yang sangat mendidik. Saking baiknya, beliau itu seperti teman saja, beliau suka guyon dengan kita, tapi wawasan beliau sangat luas," kenangnya.

Dia merasa sangat kehilangan sosok guru yang juga sahabat dan bapak. "Beliau sangat energik kalau mengajar, padahal usianya saat itu sudah 70 tahun. Beliau suka sharing ilmu, semuanya dibagikan kepada murid-muridnya, apalagi beliau suka baca," urainya.

Ya, Profesor Soetandyo adalah guru bagi keluarga, mahasiswa dan masyarakatnya.

Menurut Prof Soetandyo, hukum tidak hanya bisa diperoleh melalui pengadilan, tetapi juga bisa diperoleh di kampus, kantor, jalan raya, di mana saja.

Barangkali, hal itu pula yang mendorong Ketua Penyelenggara Yap Thiam Hien Award 2011 Todung Mulya Lubis memilih dia karena banyak membuka mata tentang realitas sosiologis HAM. Apalagi, sebagai dosen, dia sangat konsisten mengajarkan human rights kepada orang lain.

Namun, almarhum tetaplah pribadi yang bersahaja. "Kalau soal capaian yang membanggakan, kebanggan saya ya hanya sebagai guru yang sudah berpuluh-puluh tahun dan tidak ada bosannya. Bahkan, andaikan saja saya ini mati dan bisa dilahirkan kembali, saya juga akan tetap memilih menjadi guru lagi. Guru itulah kebanggaan saya," kata sang guru HAM itu.

Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013