London (ANTARA News) - Parlemen Eropa pada Sidang Pleno yang diadakan di Strasbourg, Perancis, menetapkan bahwa konsumsi biofuel Uni Eropa (UE) tidak boleh lebih dari enam persen dari total 10 persen konsumsi energi terbarukan yang digunakan Uni Eropa untuk sektor transportasi di tahun 2020. 

Dubes RI di Brussel Arif Havas Oegroseno kepada ANTARA London, Jumat menyebutkan salah satu sumber biofuel yang dikonsumsi sektor transportasi Uni Eropa adalah biodiesel yang diimpor dari Indonesia. Tercatat ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa di tahun 2012 mencapai 2,6 juta metrik ton.

Selain itu, Parlemen Eropa dalam sidangnya yang berlangsung tanggal 11 September lalu membahas Indirect Land Use Change (ILUC) sebagai elemen dalam penghitungan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) dari biofuel.

Banyak pihak menyampaikan keraguan, yang didorong oleh kurangnya data ilmiah untuk menentukan berapa emisi GRK yang muncul karena ILUC.

Oleh karena itu, Parlemen Eropa memutuskan untuk membahas kembali isu-isu terkait dengan kebijakan baru Biofuel UE ini kemungkinan pada Sidang Pleno Parlemen Eropa tahun 2015.

Dubes Havas menghadiri Sidang Pleno Parlemen Eropa dan bertemu dengan beberapa anggota Parlemen Eropa.

Corrine Lepage, anggota Parlemen Eropa dari Perancis, yang merupakan pelapor untuk kebijakan baru biofuel Uni Eropa menyampaikan dalam proses pengambilan keputusan , anggota Parlemen Eropa menerima petisi dan masukan dari berbagai kalangan yaitu industri, petani dan LSM.

Lepage juga menerima LSM Indonesia yang diwakili Sawit Watch dan Walhi yang meminta agar Uni Eropa segera menghentikan penggunaan minyak sawit untuk biofuel.

Posisi LSM Indonesia tersebut, ironisnya, sejalan dengan posisi kalangan industri biofuel Eropa yang tergabung dalam European Biodiesel Board (EBB) yaitu, menolak masuknya biodiesel Indonesia ke Uni Eropa.

Biodiesel Indonesia dinilai telah menghancurkan industri biofuel, merugikan petani, dan berpotensi menghilangkan 400 ribu lapangan pekerjaan di Eropa.

Jumlah ini tidak sebanding dengan pertanian kelapa sawit Indonesia yang menjadi penopang hidup jutaan keluarga petani sawit di Indonesia.

Melalui keterangan pers-nya tanggal 9 September 2013, EBB menyebutkan pasar biodiesel Eropa harus ditutup dari biodiesel Indonesia karena telah menghancurkan industri dan pasar biofuel Uni Eropa.

EBB telah menyampaikan protes keras kepada Uni Eropa agar impor biodiesel Indonesia dihentikan. Protes ini kemudian berakibat pada diberikannya tarif terhadap ekspor biodiesel Indonesia sebesar 83,84 euro/ton.

EBB yang mendukung petani di Uni Eropa yang menerima subsidi sebesar 6 milliar euro (Rp89,3 trilliun), juga menuduh Indonesia melakukan subsidi terhadap petani sawit. EBB meminta Uni Eropa untuk menghukum Indonesia karena memberikan subsidi.

Robbie Blake dari Friends of the Earth, pada liputan Euractive tanggal 26 Juli lalu, menyatakan  "We share concerns about palm oil with the EBB." 

Menurut DUbes Havas , aliansi LSM lokal dan asing untuk suatu masalah sosial adalah biasa. Namun demikian, permintaan penghentian impor kelapa sawit dari Indonesia, yang dampaknya adalah melindungi kepentingan industri dan petani asing, yang dilakukan secara serempak antara industri asing, LSM asing, dan LSM Indonesia demi kerugian petani Indonesia, adalah fenomena baru.

Indonesia harus memanfaatkan momentum kebijakan biofuel Uni Eropa yang baru ini, ujarnya menambahkan dalam hal ini, Indonesia perlu menggalakkan penggunaan biodiesel di dalam negeri sebagai upaya memenuhi kemandirian energi, menghemat devisa, mensejahterakan petani, dan tidak tergantung pada pasar asing.

Indonesia perlu semakin meningkatkan dan terus memodernisasi industri biodiesel dalam negeri. Saat ini, terdapat 26 kilang biodiesel (refineries) di Indonesia, dimana investasi untuk pembangunan refineries crude palm oil (CPO) mencapai 2,7 miliar dolar AS.(ZG)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013