Jakarta (ANTARA News) - "Punk, gue seneng dengan jalan ini...," kata Bobby Firman Adam, anggota komunitas Marjinal Taring Babi yang lebih senang dipanggil dengan nama Bobby Marjinal saja.

"Gue dari dulu emang enggak pernah mau kerja sama orang lain. Ada konsep DIY, berdikari dan akhirnya coba terus gue dalemin dan waah ini nyaman buat gue," kata Bobby lalu menghisap rokok kreteknya.

Bobby dan teman-temannya di komunitas Marjinal Taring Babi melakukan aktivitas mereka di gedung dua lantai berpagar besi warna hijau dan hitam di ujung Gang Setiabudi di Jalan M Kahfi 2, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Pohon sirsak rimbun dengan plang bekas rambu lalu lintas berwarna dasar kuning bertuliskan "Alam Raya Adalah Sekolahku" berdiri di halaman rumah dengan pintu kayu penuh tempelan stiker dan macam-macam tulisan yang sudah kusam itu.

Di rumah tersebut ada ruangan yang dindingnya penuh tempelan poster, foto dan hasil kerajinan cukil kayu dengan sebuah etalase hasil kerajinan tangan, serta gitar akustik, gendang dan suling milik komunitas.

Sebuah rak buku terpasang di salah satu sisi jendela, dengan deretan buku-buku hasil skripsi tentang Marjinal, buku sejarah dan politik, komik, buku cerita terjemahan buku teori semiotika dan beberapa buku karya Pramoedya Ananta Toer.

Menurut Bobby, yang punya banyak tato di tubuhnya, Marjinal Taring Babi sudah menggunakan rumah kontrakan milik Haji Maman itu untuk kegiatan komunitas sejak 11 tahun lalu.

Sebelum Bobby dan temannya Mikail Israfil, yang biasa disapa Mike, memutuskan untuk menggunakan rumah itu sebagai tempat tetap kegiatan komunitas punk, mereka berdua menjalani hidup nomaden sebagai pemuda punk.

Dua pemuda yang mulai ikut gerakan punk selepas Sekolah Menengah Atas itu bertemu tahun 1997.

Bobby dan Mike menyukai konsep mandiri punk yang disebut Do It Yourself (DIY) atau melakukannya sendiri.

Punk mengajarkan mereka untuk mengandalkan karya sendiri dan membuat mereka belajar berani bersuara.

Kesukaan yang sama pada dunia musik dan kegiatan komunitas bawah tanah membuat mereka membentuk komunitas berideologi punk, Marjinal Taring Babi, yang lahir pada 22 Desember 1997.

Bobby menjelaskan, Marjinal adalah nama kegiatan bermusik mereka. Dinamakan demikian karena mereka menyanyikan lagu yang syairnya bercerita tentang masyarakat yang terpinggirkan.

Sementara Taring Babi adalah komunitas tempat Marjinal bernaung.

"Belajar dari babi, mahluk yang rakus... Artinya sama dengan simbol kapitalisme, rakus dan taringnya itu senjatanya, dan senjatanya udah kita gantungin di sini," kata Bobby sambil menunjuk kalung yang dia kenakan.

"Sekaligus mengingatkan kita, jangan rakus seperti babi," ujar Bobby, yang kini hidup bersama istri dan anaknya di sebuah rumah tak jauh dari rumah komunitas Marjinal.

Akhir tahun 2002 Marjinal Taring Babi memutuskan untuk menetap supaya bisa membentuk komunitas punk yang tidak berseberangan dengan masyarakat.

Mereka berpendapat, untuk menghidupkan komunitas dibutuhkan tempat untuk berkarya secara terus menerus.

Menurut mereka keharmonisan dengan masyarakat juga perlu dibangun untuk menjaga keberlangsungan komunitas.

"Kita bisa melihat gimana banyak komunitas dan organisasi hilang begitu saja... Penting banget punya tempat sendiri biar banyak nilai-nilai yang bisa kita gunakan. Dengan begitu kita akan menjadi bagian dari warga seutuhnya, gitu kan," jelas Mike.


Awal yang tak mudah

Awalnya usaha anggota komunitas punk itu untuk menyatu dengan masyarakat sekitar tidak mudah.  Mike dan Bobby sadar, masyarakat sekitar mengawasi setiap gerak-gerik mereka.  

Sedikit saja cela akibat membuat onar, mabuk di depan umum, dan tidak peduli pada kegiatan warga sekitar bisa memupus harapan mereka untuk hidup berdampingan dengan masyarakat.

Mereka selalu berusaha tersenyum walau kadang dibalas dengan tatapan sinis tetangga yang merasa aneh melihat kulit mereka yang dirajah dengan aneka macam gambar.

Dengan rambut berdiri seperti bulu ekor ayam jago, mereka juga ikut bekerja bakti bersama warga. Mereka juga memelankan suara saat menyanyi supaya tidak mengganggu para tetangga.

Akhirnya warga sekitar mulai penasaran dan mengunjungi rumah kontrakan komunitas Marjinal.

"Bukannya mabuk dan berbuat onar, lho kok mereka malah jualan. Bukannya berkeliaran, kok malah jemur kaos sablonan dan sering bawa papan untuk ukiran," cerita tetangga Bobby dan Mike yang biasa disapa Pak Badut.

"Itu anak-anak yang rambutnya gondrong berdiri enggak rese," kata Yamin (52), penduduk asli Setu Babakan yang bekerja sebagai penjaga pintu masuk dari Gang Setiabudi.

"Nurut malah, ada kerja bakti pada ngikut. Ada lomba-lomba juga ikut jadi panitia. Mau bergaul gitu sama masyarakat, sama yang tua juga enggak songong," tambah dia.


Bertahan dengan berdikari

Marjinal Taring Babi tidak berbeda dengan komunitas punk pada umumnya.

Mereka mencari makan dari pertunjukan musik dengan mengamen atau manggung, menjual desain gambar poster, membuat tato, menyablon kaus, mencetak undangan, membuat gelang dan jual beli kaset.

Marjinal sudah menetaskan lima album, yang antara lain mencakup lagu-lagu untuk latar "Punk In Love", film tahun 2009 garapan sutradara Ody C. Harahap yang dibintangi oleh Vino G. Bastian.

Komunitas itu juga menghasilkan kaus. Produk kaus mereka sudah dijual sampai ke Pulau Sumatera dan Sulawesi. Poster-poster mereka jual ke daerah Bekasi dan Jakarta Selatan.

"Nah setelah produksi sekalian membangun jaringan ke luar, maksudnya biasanya temen-temen di sini suka dapet orderan dari Sumatera dan Makassar melalui pakai sistem paket. Mereka transfer, kita kirim barang," jelas Bobby.

Pendapatan dari kegiatan-kegiatan usaha itu mereka gunakan untuk membiayai komunitas, membayar sewa rumah, memenuhi kebutuhan harian, serta sesekali melengkapi modal produksi dengan membeli alat musik, memperbaiki alat sablon serta membeli banyak tinta untuk membuat poster.

Usaha Marjinal Taring Babi untuk hidup berdikari membuat mereka tetap bertahan seperti sekarang. Proses itu pula yang membuat mereka bisa hidup berdampingan secara baik dengan masyarakat.

Menurut Bobby, sekarang warga sekitar tidak ingin Marjinal pergi.

Ketika komunitas itu kesulitan membayar uang kontrakan, warga sekitar membantu mereka dengan membeli lukisan dan poster atau meminta dibuatkan undangan.

"Bisa diterima saja di tengah warga begini buat kami adalah sebuah kemenangan, apalagi diizinkan bebas berkarya, besar artinya buat kami," kata Mike, yang tinggal di Bekasi bersama anak dan istrinya.

Selanjutnya Marjinal ingin belajar lebih banyak dari masyarakat dan menghasilkan karya-karya untuk dinikmati bersama.

Mike berharap suatu saat mereka bisa membuka peternakan sapi yang dikelola bersama warga.

"Temen-temen mau bikin peternakan sapi, buat empang, atau kalau perlu buat pabrik. Semua itu kita akan buat dengan pola-pola yang berbeda dengan yang ada saat ini, yang cenderung menindas dan mengeksploitasi," katanya.

Komunitas Marjinal merasa bisa bertahan hidup dengan karya sendiri, tanpa harus bergantung pada dukungan pemerintah.

"Enggak usah lihat punk, lihat noh tukang soto gerobak di depan. Dia berdikari dan lebih baik begitu, tidak bergantung sama negara," kata Mike.

Menurut Dosen Sosiologi Politik dan Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, punk adalah kelompok antikemapanan yang secara sosiologis muncul sebagai kritik terhadap hegemoni kultural, ekonomi, dan bahkan politik.

"Negara dengan kesenjangan sosial dan politik yang tinggi cenderung mudah ditumbuhi punk, meskipun hal itu bukanlah satu-satunya faktor utama," katanya.

Hubungan harmonis antara komunitas punk Marjinal Taring Babi dan masyarakat setempat, menurut dia, menandakan adanya perubahan sosial yakni bahwa hubungan antar-masyarakat tidak lagi hanya dimaknai dengan simbol-simbol material.


Oleh Alviansyah Indra Wibowo Pasaribu
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013