Upaya pemerintah menumbuhkan wirausahawan baru terfokus pada pendirian industri kecil yang lebih mudah dan fleksibel untuk langsung dijalankan.

"Kalau industri kecil itu entry dan exit poinnya mudah, kapan saja bisa langsung ikut pelatihan, bisa langsung berusaha, bisa menjalin kerja sama dengan usaha para seniornya dan kalau sudah berjalan dengan baik bisa ikut pameran. Fleksibel banget," kata Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah.

Industri kerakyatan bisa memberdayakan dan mensejahterakan rakyat kecil, karena berbeda dari industri besar yang hanya bisa dibangun segelintir orang bermodal kuat dengan sistem terstruktur dan berisiko tinggi, industri kerakyatan lebih lentur.

Namun untuk membangun industri kerakyatan, perlu ada wirausahawan gigih yang selalu mau belajar dan berdisiplin tinggi.  Kendalanya, masyarakat masih belum berbudaya industri dan belum memahami dengan benar  potensi industri.

"Karena dalam industri itu kita harus mau mengolah sumber daya kita untuk menjadi produk yang bernilai tambah. Pemahaman ini yang harus dijaga," katanya.

Ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan seorang wirausahawan industri, yakni memahami lingkungan potensi industri, ilmu pemasaran, manajemen bisnis, kedisiplinan baik dalam pembukuan, ketepatan waktu, maupun prediksi perekonomian di masa depan. Selain itu, seorang wirausahawan industri haruslah hemat, bekerja keras, kreatif dan inovatif.

Euis mengatakan, Indonesia membutuhkan dua persen dari total penduduk menjadi wirausahawan atau sekitar lima juta wirausahawan yang minimal 50 persennya adalah wirausahawan bidang industri.  "Paling tidak separuhnya wirausaha industri, jadi 2,5 juta wirausaha," katanya.

Dia mengatakan, masih banyak wirausahawan yang lebih memilih berdagang ketimbang membangun industri pengolah barang bernilai tambah.

Satu industri kecil harus memahami dan mengimplementasikan empat komponen berikut, yakni SDM yang kompeten, teknologi mesin yang tepat guna, standardisasi keseragaman, baik ukuran maupun bentuk, serta pematenan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Kemenperin membawahi banyak ragam industri kerakyatan di 33 provinsi dengan prioritas sektor industri makanan ringan, perhiasan, garam rakyat, atsiri, grabah keramik hias dan fesyen.

Kemenperinmenargetkan konsentrasi IKM yang saat ini  75 persen ada di Pulau Jawa, agar menjadi 60 persen di Pulau Jawa dan 40 persen di luar Pulau Jawa.  "Tahun depan rencananya menghasilkan tiga ribu wirausaha baru, dari jumlah itu nanti kami pantau yang sungguh-sungguh itu berapa," katanya.

Demi mewujududkan itu, Kemenperin menggandeng beberapa universitas untuk menjaring mahasiswa atau lulusan yang berminat tinggi menjadi wirausahawan.   "Untuk penumbuhan wirausaha baru, melalui inkubator, pendampingan dan pemberian peralatan," katanya.

Inkubator ini diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bekerjasama dengan Kemenperin, antara lain Universitas Sumatera Utara, Universitas Hasanuddin, Institut Pertanian Bogor  dan beberapa perguruan tinggi lain.

Untuk menjaring calon peserta diadakan rekrutmen dengan tahapan psikotes. Setelah itu, calon peserta diajari kewirausahaan dan produksi. Setelah minat bisnis mereka diketahui, peserta akan diminta membuat rencana bisnis untuk nantinya dipresentasikan.   "Yang terbaik, akan diberi bantuan peralatan," katanya.

Selain metode inkubator, pemerintah juga merekrut putra-putri daerah sebagai tenaga penyuluh lapangan. Para calon tenaga penyuluh dididik di sekolah perindustrian selama tiga tahun untuk kemudian dikembalikan ke daerah asal sebagai penyuluh.

Dalam menjalankan tugas mereka dikontrak Kemenperin selama dua tahun.  "Harapannya mereka selanjutnya bisa menjadi wirausahawan baru," kata Euis.

Program yang sudah berjalan sejak 2007 ini telah menghasilkan 800 orang tenaga penyuluh perindustrian yang tersebar di 200 kabupaten dan kota.

Bantuan alat

Syaikur Rohim (28), adalah seorang yang memperoleh bantuan start up capital dari Kemenperin melalui program inkubator wirausaha baru.

Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu  Tarbiyah Muhammadiyah Wates, Yogyakarta, jurusan Pendidikan Agama Islam ini sebelumnya merintis usaha kerajinan anyaman tali milion di Kalimantan Selatan.

"Saat itu saya mendengar info Kemenperin mengadakan lomba wirausaha baru yang bisa diikuti oleh mahasiswa atau alumni, saya pun ikut mendaftar melalui seleksi tertulis, wawancara, saya  lolos. Di Kalsel, saya mendapat skor tertinggi," katanya.

Dari 167 peserta yang diseleksi di Kalimantan Selatan, 30 peserta lolos untuk mengikuti pelatihan, masing-masing 10 orang untuk bidang fesyen, pangan dan teknologi tepat. Dari 30 orang itu, hanya tiga orang yang memenangi bantuan start up capital, salah satunya Syaikur.

Syaikur pun mengikuti pelatihan bisnis plan dan motivasi dari 31 Mei - 6 Juni 2012 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan 15 - 19 Juli 2012 di Palembang.

Pada oktober 2012, dia menerima start up capital berupa dua mesin jahit dan bahan-bahan pembuatan kerajinan.

Syaikur yang sebelumnya menganyam sendiri, kini memperkerjakan empat hingga lima orang Dayak.

"Bahan saya setor ke mereka, mereka menganyam di rumah masing-masing. Saya upah Rp6 ribu per lembar. Kalau sudah banyak, saya ambil, kemudian saya rangkai dan jahit," katanya.

Produk yang dihasilkan berasal dari tali milion yang biasa digunakan untuk mengemas barang-barang di bandara yang ia buat menjadi beberapa jenis barang, antara lain tas  belanja, tas tempat map dan tas pakaian, dengan ia hargaia bervariasi antara  Rp20 ribu hingga Rp60 ribu.

Hingga kini Syaikur masih dipantau Kemenperin, termasuk mendapat bantuan pemasaran.

Lain halnya dengan Alan Sahroni yang termotivasi menjadi Tenaga Penyuluh Lapangan (TPL) Kemenperin karena berpeluang untuk dikembalikan ke daerah asalnya di Subang, Jawa Barat.

Mendapatkan beasiswa TPL pada 2007 setelah lulus SMA, dia mengenyam pendidikan gratis di STT Tekstil, Bandung selama tiga tahun.

Tahun keempat dan kelima, Alan dan para rekan TPL seangkatannya membina para pelaku industri kecil di daerah masing-masing. Mereka membina, belajar dan berusaha mengatasi masalah dalam IKM-IKM tersebut untuk selanjutnya dilaporkan ke dinas perindustrian provinsi.

"Dari IKM-IKM yang kami bina, dilaporkan permasalahan, bagaimana upaya pembinaan kita, setiap bulan laporan diserahkan ke provinsi sekaligus penerimaan honor. Jadi kami dapat bayaran saat menyelesaikan laporan," katanya.

Menjelang selesai tahun kelima, para TPL termasuk Alan diwajibkan mengirim bisnis plan sesuai dengan usaha yang mau dilaksanakan setelah masa kontrak menjadi TPL berakhir.

Alan mengajukan businesss plan pembuatan serat nanas karena Subang penghasil nanas.

"Seleksi pertama, saya lolos tujuh besar di Balai Diklat Industri Kalisari,  Jakarta Timur. Seleksi kedua, lolos empat besar dan seleksi berikutnya masuk tiga besar.

Alan pun mendapat bantuan mesin start up berupa decorticator dari Kemenperin untuk membuat serat dari daun nanas.

Pria berumur 24 tahun ini mengakhiri kontrak TPL dengan Kemenperin pada 2012.

Meski telah habis masa kontrak, usahanya masih dimonitor Kemenperin mengingat dia mendapatkan fasilitas alat. "Karena saya mendapat fasilitas alat, saya masih harus menyerahkan laporan tentang penggunaan mesin ini selama dua tahun," katanya.

Alan merintis usaha serat nanas di bawah nama usaha Alfiber yang baru berjalan setahun terakhir.

Saat ini dia sudah bisa mempekerjakan dua orang karyawan tetap dan beberapa tenaga lepas harian.

Serat nanas adalah barang setengah jadi yang diolah dari daun nanas. Hasil akhir produk ini bisa menjadi beragam barang diantaranya kain, gorden, sandal dan tambang kapal.

Alan mempromosikan usahanya melalui blognya. Dengan banderol harga Rp150 ribu/kilogram, omzetnya berkisar Rp5 juta - Rp10 juta per bulan dari penjualan serat nanas kering.

Dia menghadapi kendala pemasaran. Meski demikian, dia bertekad untuk terus menekuni bisnisnya  karena menurut dia menjadi wirausahawan berpotensi memperoleh penghasilan besar, kebebasan waktu dan berkesempatan memberi orang lain pekerjaan.

Sinergi antarkementerian

Langkah Kemenperin mencetak wirausahawan baru harus dibarengi dengan strategi yang jelas, kata ekonom Hendri Saparini.

Agar efektif, wirausahawan baru yang dicetak pemerintah harus memiliki daya saing dan fokus kepada sektor industri yang sesuai dengan kondisi masyarakat.

Ia mencontohkan kesuksesan Thailand dalam mengembangkan industrinya yang berfokus pada pertanian dan manufaktur karena tak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan tinggi.

"Karena 60 persen tenaga kerja kita masih SMP ke bawah, mereka perlu pekerjaan yang cocok dengan pendidikan mereka," kata Hendri.

Dia meminta kementerian-kementerian membangun sinergi untuk merumuskan strategi kebijakan industri nasional, tidak seperti sekarang ini terjadi, yang bekerja sendiri-sendiri.

"Kemendag punya program entrepreneurship, Kemenperin, Kemenkop punya program sendiri, akhirnya kan program-program tersebut jadi tidak maksimal," katanya.

Menurutnya, apabila sinergi itu terbangun,  maka Undang-undang Perindustrian bisa dibuat untuk mengarahkan industrialisasi Indonesia sesuai dengan strategi industri nasional.

Dengan begitu, pemerintah bisa memberikan insentif berupa dukungan fiskal, promosi, atau perlindungan hukum kepada para wirausahawan sehingga bisa berkembang baik.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013