Denpasar (ANTARA News) - PT Telkom berkolaborasi dengan PT Telkomsel untuk memberikan subsidi biaya panggilan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia kepada keluarganya di kampung halaman dengan memberlakukan tarif lokal.

"Kebetulan Telkom punya rencana Indonesian Expansion, sedangkan kami punya market di luar negeri," kata Direktur Sales PT Telkomsel Mas'ud Khamid di Denpasar, Sabtu.

Ia menjelaskan bahwa TKI pelanggan Telkomsel memiliki dua nomor berbeda dalam satu kartu yang terdiri dari nomor khusus untuk menghubungi keluarganya di Tanah Air dan satu nomor lainnya hanya bisa digunakan untuk berkomunikasi di Malaysia.

"Ketika TKI menghubungi keluarganya di Indonesia, maka secara otomatis nomor khusus tarif lokal itu yang berfungsi, sedangkan pada saat digunakan untuk komunikasi dengan sesama nomor Telkomsel di Malaysia maka nomor yang satu lagi yang berfungsi dengan tarif sesuai ketentuan," katanya seusai meresmikan "Broadband Center" di sela-sela KTT APEC itu.

Menurut dia, biaya panggilan TKI kepada keluarganya di Tanah Air itu yang disubsidi, sedangkan biaya panggilan di Malaysia ditentukan oleh Telkomsel dan PT Telkom Internasional (Telin) sebagai salah satu anak perusahaan Telkom.

Tahun ini program Indonesian Expansion itu telah terealisasi di 10 negara, di antaranya Australia, Hong Kong, Singapura, Myanmar, Malaysia, Makao, dan Taiwan.

"Saat ini jumlah pelanggan kami di Malaysia sekitar enam juta orang, sebanyak 80 persen adalah TKI asal Jatim dan NTB. Kami perkirakan 80 persen itu menggunakan kartu Simpati As untuk menghubungi keluarganya," ujar Mas'ud.

Dalam upaya ekspansi itu, Telkomsel telah mendirikan Grapari di Malaysia. Pendirian pusat pelayanan pelanggan Telkomsel itu akan dibangun di Hong Kong dan Makao.

Dalam satu tahun terakhir pelanggan Telkomsel di Hong Kong telah mencapai angka 60 ribu sehingga program subsidi biaya panggilan TKI akan dilanjutkan di negeri itu.

"TKI di Hong Kong rata-rata menghubungi tiga anggota keluarganya di Indonesia dengan menggunakan kartu As," katanya menambahkan.

Menanggapi keluhan pelanggan soal biaya layanan 4G LTE, Mas'ud menyatakan hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena teknologi baru itu lambat laun akan murah seiring dengan perkembangan.

"Tahun 1996 harga handset Rp14 juta, sekarang sudah Rp100 ribu per unit. 4G juga begitu. Makin lama, makin murah. Jadi tidak perlu khawatir," ujarnya.

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013