Banda Aceh (ANTARA News) - Anak-anak korban konflik yang tersebar di beberapa wilayah rawan gangguan keamanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) perlu penanganan melalui pendekatan psikologis, sebagai upaya menghapuskan rasa dendam dalam diri mereka. "Bertahun-tahun anak-anak Aceh melihat, mendengar, merasakan dan mengalami berbagai kejadian pahit selama konflik, secara sadar pengalaman itu telah diinternalisasikan dalam dirinya," kata psikolog Universitas Syiah Kuala Darussalam, Dra Nur Jannah Nitura, kepada ANTARA di Banda Aceh, Jumat. Situasi tersebut mempengaruhi kondisi psikologisnya secara menyeluruh baik kognitif, efektif dan prilaku, katanya. Ia mengatakan situasi-situasi traumatik saat konflik itu jika tidak disikapi secara proaktif akan menstimulasi anak untuk menjadi tidak berdaya dan tentu saja akan kontra produktif dengan semangat membangun kembali Aceh di masa depan. Oleh karena itu, tambahnya, masalah traumatik anak baik akibat konflik dan bencana alam gempa bumi dan tsunami (26 Desember 2004) itu harus menjadi perhatian serius pemerintah serta Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Nur Jannah, menjelaskan bentuk-bentuk traumatik yang sebagian besar masih membayangi kehidupan masyarakat, terutama anak-anak Aceh pasca konflik dan bencana alam itu seperti rasa cemas berlebihan, rasa bersalah dan ketakutan. "Bentuk-bentuk trauma itu masih membayangi kehidupan orang-orang terutama anak-anak di Aceh pasca konflik dan bencana alam. Akan tetapi, trauma bagi korban konflik itu jika tidak ditangani serius maka akan melahirkan generasi pendendam," kata direktur eksekutif Yayasan Psikodista NAD itu. Berbeda dengan trauma bencana alam, jelasnya, para korban tsunami itu lebih banyak menyadari bahwa bencana alam yang menimpa dirinya itu atas kehendak Allah SWT sebagai sang pencipta dan bukan perbuatan manusia. "Posisi masyarakat Aceh yang sangat religius telah menjadi `benteng` mereka tidak terus larut dalam kesedihan akibat bencana alam itu, karena bencana alam tersebut adalah kehendak Sang Pencipta, sehingga harus diterimanya sebagai cobaan," ujar Nur Jannah. Dipihak lain, ia menyatakan memang berbagai pihak seperti lembaga swdaya masyarakat (LSM) lokal, nasional dan internasional secara bahu membahu telah melakukan berbagai gerakan dan aktivitas memberdayakan kembali anak-anak Aceh pasca konflik. "Yang kita harapkan pemerintah dan BRR tidak hanya membangun sarana fisik, tapi masalah non fisik terkait dengan mengatasi trauma korban konflik juga menjadi prioritas yang berkesinambungan," katanya. Ia menilai setahun sudah suasana damai di Aceh pasca penandatanganan nota kesepahaman damai (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005, perhatian pemerintah dalam memberdayakan anak-anak korban konflik masih dirasakan kurang. (*)

Copyright © ANTARA 2006