Melbourne (ANTARA News) - Kebijakan monopoli ekspor gandum melalui Australian Wheat Board (AWB) yang diterapkan Australia dinilai tidak adil dan dapat mengganggu pasar terigu Indonesia. Indonesia mengharapkan ekspor terigu Australia ke Indonesia tanpa harus melalui AWB sehingga harga jualnya bisa lebih murah dibanding harga terigu dari AWB, kata Direktur PT Indofood Sukses Makmur, yang juga bergerak dalam produksi terigu, Philip S. Purnama, di sela-sela pertemuan bisnis dengan pengusaha Australia di Melbourne, Jumat. Akibat kebijakan tersebut, terdapat selisih harga terigu dari Australia dengan harga terigu yang dihasilkan oleh produsen Indonesia sebesar 20 dolar AS per ton atau sekitar 10 persen. "Jadi kita usulkan agar dipertimbangkan oleh pemerintah Australia agar persaingan yang tidak sehat ini tidak berkelanjutan karena akan merusak pasar Indonesia. Lagi pula seharusnya mereka mempertimbangkan jumlah value ekspor kita atas gandum dan terigu sangat tidak seimbang bagi Australia, gandumnya 500 juta ton sedangkan terigunya cuma 50 juta ton," katanya. Menurut dia, seharusnya Australia lebih memperhatikan perdagangan gandum dengan Indonesia karena bagi Indonesia lebih baik impor gandum karena nilai tambah prosesnya ada di Indonesia. Dalam pertemuan bisnis yang merupakan rangkaian kunjungan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu ke Australia sejak Senin (9/8) itu, Philip mengaku telah menyampaikan protes tersebut kepada AWB dan Menteri Perdagangan Australia Mark Vaile. Pada pertemuan tersebut, Philip mengatakan yang diharapkan oleh pengusaha Indonesia adalah adanya persaingan yang sehat dalam kesetaraan hubungan sehingga memperkuat kerjasama yang sudah terbangun sejak 40 tahun lalu. Menurut Philip, AWB dan pemerintah Australia telah berjanji untuk meninjau ulang kebijakan mereka dan mempertimbangkan langkah yang akan diambil agar tidak merugikan salah satu pihak. "Sebenarnya ada dua alternatif apakah kita bisa langsung akses kepada petani gandum di Australia tapi hal itu tidak terlalu memungkinkan karena ekspor monompoli masih kelihatannya akan diperpanjang oleh pemerintah Australia," jelas Philip. Kemungkinan kedua, lanjut dia, pemerintah Australia seharusnya juga mewajibkan eksportir terigunya menggunakan sistem yang sama melalui AWB tersebut. "Kalau mau satu pintu, ya satu pintu, jangan cuma kita saja yang diwajibkan melalui AWB sedangkan yang dari Australia tidak diharuskan melalui pintu tersebut. Tentunya pasti akan lebih menguntungkan bagi industri terigu di Indonesia kalau punya hubungan langsung dengan perusahaan lokal di Australia," ujarnya. Dengan demikian, jalur birokrasi impor gandum oleh Indonesia diperpendek. Indonesia merupakan importir terigu Australia terbesar dengan volume sekitar 2,5 juta ton per tahun atau senilai 500 juta dolar AS. Kerjasama UKM Dalam pertemuan bisnis yang diikuti oleh 32 perusahaan Australia itu, juga dibahas kemungkinan kerjasama pembangunan kapasitas usaha kecil menengah (UKM) dalam hal kebersihan dan mutu produk untuk meningkatkan kualitas. "Ada sekitar 30 ribu home industry di Indonesia yang bekerja di bidang makanan. Kita minta untuk mereka untuk melakukan capacity building berupa pendidikan mengenai kebersihan dan kesehatan produk serta mutu produksi yang baik supaya meningkatkan taraf kualitas dari produksi UKM di pasar," jelasnya. Ia meminta, pemerintah Australia dan AWB untuk mengalokasikan dana untuk program tersebut. Setiap tahun, Indofood melakukan pelatihan sebanyak 600 ribu jam kerja, kepada 15 ribu UKM dengan biaya sekitar 2-3 juta dolar AS. "Kita minta AWB sharing itu, jadi bukan hanya kewajiban kita tapi mereka juga sebagai supplier, mereka mengatakan akan mempertimbangkan itu," ujarnya. Manager Trade Advocacy AWB, Peter Hansford mengatakan, Indonesia adalah pasar yang terus tumbuh. Ia berharap terigu Australia tetap memegang pangsa pasar terbesar di Indonesia. Sedangkan mengenai kebijakan monopoli ekspor tersebut, Hansford mengatakan sepenuhnya hal itu merupakan keputusan pemerintah Australia.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006