Jakarta (ANTARA News) - Pascapenangkapan Ketua MK nonaktif Akil Mochtar oleh KPK terkait dugaan suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunung Mas, Kalteng dan Kabupaten Lebak, Banten persoalan pengawasan hakim konstitusi muncul kembali setelah tenggelam sejak 2006.

Tenggelamnya soal pengawasan hakim konstitusi itu sejak putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan fungsi pengawasan KY dinyatakan inkonstitusional lewat pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY pada tahun 2006.

Tentunya hakim MK tidak bisa mengatakan jika mereka sebagai "wakil tuhan" sehingga menolak adanya pengawasan. Pasalnya sikap individu rentan akan tergelincir dalam sebuah praktik melanggar hukum. Memang, jumlah hakim konstitusi sebanyak sembilan orang, namun mereka tetap saja harus diawasi.

Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang MK soal pengawasan terhadap hakim, patut diacungi jempol karena pengawasan di tubuh pengawal konstitusi itu saat ini sangat diperlukan alias darurat.

Artinya soal pengawasan hakim konstitusi itu janganlah ditunda-tunda kembali dan jangan sampai menunggu kejadian Akil Mochtar yang kedua kalinya.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim di Mahkamah Konstitusi perlu "dihidupkan" kembali untuk memperbaiki kinerja hakim agar kembali dipercaya masyarakat.

"Hidupkan kembali pengawasan oleh KY terhadap hakim konstitusi agar bisa termonitor, sehingga terjadi `check and balance` (pengawasan dan penyeimbangan)," katanya.

Pernyataan Refly Harun tersebut menanggapi putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan fungsi pengawasan KY dinyatakan inkonstitusional lewat pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY pada tahun 2006.

"Paradigma ini terlihat keliru karena hilangnya pengawasan terhadap hakim," katanya.

Menurut dia, kewenangan KY dalam mengawasi MK harus dikembalikan melalui peraturan pemerintah pengganti (perpu).

Namun, menurut dia, kewenangan KY jangan sampai menghalangi atau menentang kebebasan hakim dalam mempertimbangkan keputusan suatu perkara.



"Kegentingan"

Hal senada dikatakan pakar hukum Universitas Gadjah Mada Mohammad Fajrul Falaakh yang menilai pengawasan oleh KY diyakini bisa mengatasi "kegentingan" yang ada di MK.

"Tidak perlu menunggu MK `terbakar untuk tidak bermain korek api`, artinya tidak perlu menunggu MK hancur baru menyadari kesalahannya dimana," katanya.

Menurut dia, sejak awal, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi.

MK menyatakan, lanjut Fajrul, hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi melainkan hakim karena jabatannya.

"Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim Mahkamah Agung juga berasal dari kalangan nonkarier," katanya.

Dia mengimbau KY harus berperan secara preventif, bukan hanya represif dalam pengawasan konstitusi.

"Akibatnya, Ketua MK harus tertangkap tangan dulu karena fungsi pengawasan represif-internal maupun represif eksternal tidak ada," katanya.



Terserah pemerintah

Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashiddiqie menyerahkan sepenuhnya keputusan pemberian kewenangan pengawasan terhadap hakim MK bagi Komisi Yudisial (KY) kepada Pemerintah setelah sebelumnya sempat menyebut opsi tersebut bukan solusi terbaik.

"Ya (soal KY mengawasi hakim MK) terserah kepada Pemerintah," kata Jimly.

Jimly bahkan sempat sedikit memberi pendapat bernada mendukung, atas opsi pengawasan oleh KY terhadap hakim MK tersebut, dengan menyebutnya sebagai bentuk "check and balance" atau pengawasan dan penyeimbangan.

"Itu artinya ada `check and balance` di negara kita, berarti MK ini ada pengawasnya," ujar dia.

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK) menyatakan mendukung langkah-langkah pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi sepanjang hal itu sesuai dengan UUD 1945.

"Kami dari APHMAK mendukung langkah pengawasan terhadap MK dan hakim konstitusi sepanjang langkah-langkah itu sesuai dengan UUD 1945," kata Ketua DPP APHAMK.

APHAMK merupakan organisasi dan pemerhati yang peduli terhadap masalah ketatanegaraan dan konstitusi pada umumnya, serta keberadaan MK pada khususnya. APHAMK beranggotakan para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia.

Selain itu, APHAMK juga mendukung langkah Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka menjaga kredibilitas dan wibawa MK sepanjang langkah-langkah tersebut dilakukan sesuai dengan UUD 1945.

Komisi Yudisial sendiri menyatakan siap melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi yang rencananya akan dituangkan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang akan dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Apabila politik hukum negara ini yang kemudian dituangkan ke dalam suatu peraturan, misalnya perpu, akan mengamanatkan kepada KY untuk mengawasi kembali etika dan perilaku hakim MK maka selaku lembaga negara, KY tentunya siap untuk melaksanakannya," kata Jubir KY, Asep Rahmat Fajar di Jakarta, Senin.

Asep menjelaskan bahwa pada dasarnya KY selalu meyakini bahwa suatu lembaga negara yang memiliki kekuasaan sangat besar seperti MK yang putusannya "final and binding", harus juga memiliki mekanisme pengawasan lembaga eksternal, selain pengawasan internal MK sendiri.

"Pengawasan eksternal itu bertujuan agar pelaksanaan tugas dan wewenang MK dapat berjalan dengan baik," katanya.

Oleh Riza Fahriza
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013