Jakarta (ANTARA News) - Anggota Badan Legislasi DPR RI, Nurul Arifin menilai, Presiden pada dasarnya tidak memiliki prasyarat untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Mahkamah Konstitusi (MK).

"Sebuah Perppu tidak dibuat dalam ruang hampa sosial, namun ada konteks extra ordinary yang mengharuskan Perppu dikeluarkan, yakni keadaan bahaya atau kegentingan yang memaksa. Situasi nasional dan situasi di MK tidak sedang terjadi kegentingan atau keadaan bahaya," kata Nurul di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Jika Akil ditangkap KPK karena korupsi, tidak berarti MK secara institusional akan roboh. "Menurut saya, jika ada pencuri dalam rumah jangan bakar rumahnya. Tapi tangkap pencurinya saja dan benahi kembali rumah yang rusak karena kebobolan si maling tersebut," ujar Nurur.

Jika Perppu tersebut menekankan tiga hal, yakni persyaratan hakim konstitusi, pemilihan dan penjaringan hakim konstitusi, dan pengawasan terhadap MK, maka hal tersebut sudah diatur dalam UU MK.

"Tinggal persyaratannya yang diperketat, sementara penjaringan sudah jelas diusulkan oleh siapa dan mekanisme pengawasan eksternal," kata dia.

Mengenai pengaturan mekanisme pengawasan eksternal ini, menurut Nurul Arifin, bukan saja UU MK yang harus dilihat, tapi harus disinkronkan dengan UU KY.

"Sudah dua kali MK membatalkan konsep pengawasan eksternal, yakni pembatalan terhadap UU Nomor 22 tahun 2004 tentang KY dan pembatalan terhadap UU MK hasil revisi, terutama terkait dengan nomenklatur pengawasan eksternal," kata Nurul.

Mestinya, tambah politisi Partai Golkar itu, keadaan tidak perlu dibuat terlalu berlebihan. "Presiden dalam konstitusi berhak mengajukan RUU. Maka diajukan saja RUU perubahan atas RUU MK dan perubahan RUU KY sekaligus. Kita kembalikan konsep pengawasan oleh KY untuk memperkuat pengawasan terhadap MK. Jika hanya tiga hal itu yang diatur oleh Perpu, saya rasa Perppu itu akan sia-sia," pungkas Nurul Arifin.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013