Damaskus (ANTARA News) - Film "Mariam" dengan sutradara Basil al-Khatib menang berbagai penghargaan dalam festival-festival film seperti di Kairo pada 13 Oktober,  di Oran, Aljazair pada September dan  di Dhakka, Maroko pada Februari.

Sang sutradara, al-Khatib mengemukakan kepada AFP filmnya menang pernghargaan semata-mata karena pengambilan gambarnya berbahaya sebab dalam peperangan.

Film tersebut bercerita tentang tiga perempuan, masing-masing bernama Mariam, yang bertempat tinggal di tiga tempat dan waktu yang berbeda dalam sejarah konflik Suriah, tetapi bisa mengatasi kengerian perang dengan cinta.

Sutradara keturunan Palestina-Suriah itu mengatakan bahwa awak film harus menghadapi risiko perang saudara berdarah ketika menyelesaikan pembuatan film.

"Beberapa gambar diambil di tempat yang sangat berbahaya dengan pertempuran yang berlangsung di dekatnya," kata Khatib " Kami pergi untuk mengambil gambar tanpa bisa tahu apakah bakal pulang pada malam harinya."

Ia juga ingin menjaga agar film itu bisa memperlihatkan betapa kemanusiaan tetap bersinar meskipun di tengah konflik.

Mariam dibuka dengan sebait puisi karya ayah Khatib "Kita sudah kehilangan segalanya, tetapi masih memiliki cinta."

Salah seorang pemeran mengulanginya dengan kata-kata "Perang yang sudah membawa keburukan pada manusia, tapi juga mengeluarkan sisi paling baik bagi orang lain."

Khatib mengatakan judul film itu juga merujuk pada Bunda Suci Maria yang dalam kitab suci ditulis mengajarkan cinta dan kebaikan.

Film itu mempertontonkan kepahitan perang dan dampaknya terhadap tiga perempuan, yang meski pun menderita, tidak kehilangan kemampuan untuk mencintai dan berkorban.

Cerita mengenai Mariam yang pertama berlatar belakang tahun 1918 menjelang Perang Dunia I berakhir.

"Masa itu merupakan kunci dalam sejarah kami. Masa depan wilayah ini belum jelas pada masa kekaisaran Ottoman akan berakhir dan kekuatan sekutu masuk," kata Khatib.

Bagian kedua film itu mengemukakan dampak perang Arab-Israel tahun 1967 "yang menciptakan perpecahan besar" di wilayah ini, kata sutradara tersebut.

Adegan digambarkan dengan seorang janda yang menolak meninggalkan rumahnya di Quneitra, di perbatasan dengan Dataran Golan, yang berada dalam pendudukan Israel sejak masa perang.

"Perang ini tidak ditujukan untuk menghancurkan rumah kami, tetapi kalbu kami yang terdalam," kata Mariam kedua.

Bagian akhir film mengulik kekacauan di Suriah saat ini, di tempat tokoh Mariam ketiga menghadapi konflik yang parah di rumahnya.

Setelah sang ayah meninggalkan ibu kandungnya sendiri di tempat pengungsian, Mariam muda mengatakan "ketika seorang putra meninggalkan ibunya ... ia menanggalkan kenangan, negaranya dan semua kemuliaan dirinya."

Khatib merasa yakin bahwa pemusatan "elemen kemanusiaan" dari konflik Suriah itulah yang memukau penonton dan juri pada festival-festival tersebut.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013