Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya memperingan hukuman Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin menjadi enam tahun penjara dari sebelumnya tujuh tahun penjara di tingkat banding. Sebaliknya, Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin diperberat hukumannya di tingkat kasasi menjadi enam tahun penjara dari sebelumnya lima tahun penjara di tingkat banding. Putusan itu disampaikan oleh Majelis Hakim Kasasi yang diketuai Parman Soeparman dan beranggotakan Moegihardjo, MS Lumee, Hamrad Hamid dan Krisna Harahap dalam sidang terbuka di Ruang Wiryono, lantai dua Gedung MA, Jakarta, Rabu. Selain hukuman enam tahun penjara, Nazaruddin dikenakan hukuman denda Rp300 juta subsider enam bulan penjara serta kewajiban membayar kerugian negara sebesar Rp1,068 miliar. Jika kerugian negara itu tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Nazaruddin akan disita senilai kerugian negara yang harus dibayar. Jika ia tidak memiliki harta benda sejumlah itu, maka diganti oleh hukuman pidana selama dua tahun penjara. Nazaruddin bersama Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin dalam putusan kasasi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dalam kasus korupsi pengadaan jasa asuransi Pemilu 2004 dan pengumpulan dana taktis di KPU. Hamdani dalam tahap kasasi dijatuhi hukuman serupa dengan Nazaruddin. Ia dihukum enam tahun penjara, denda Rp300 juta subsider enam bulan dan kewajiban membayar kerugian negara sebesar Rp1,068 miliar. Dengan putusan kasasi itu, majelis hakim kasasi membatalkan putusan banding perkara Nazaruddin yang diputus PT DKI Jakarta pada 27 Februari 2006 dan putusan banding Hamdani yang diputus pada 7 Februari 2006. Usai persidangan, salah satu hakim ad hoc tipikor, MS Lumee, menjelaskan majelis kasasi membatalkan putusan di tingkat PN dan PT karena tidak memuat hal yang memberatkan dan meringankan bagi para terdakwa. "Sesuai pasal 197 huruf k KUHAP, putusan yang tidak memuat hal yang meringankan dan memberatkan harus batal demi hukum," katanya. Ia mengatakan mungkin saja majelis hakim tingkat pertama dan tingkat banding lupa memasukkan hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, meski hal tersebut merupakan kesalahan yang fatal. Dalam putusan kasasi, majelis hakim menilai hal yang meringankan Nazaruddin adalah sebagai Ketua KPU ia telah sukses menjalankan dua Pemilu. Sedangkan, Hamdani sebagai kepala biro keuangan dianggap lebih mengetahui hal teknis keuangan. Majelis hakim kasasi juga mengurangi jumlah kerugian negara yang harus dibayar oleh keduanya, dari Rp5,032 miliar menjadi masing-masing Rp1,068 miliar. Menurut hakim Krisna Harahap, pengurangan jumlah kerugian negara itu karena sudah ada pengembalian yang dilakukan oleh terdakwa dan juga telah ada kerugian negara yang telah disita oleh negara. "Kita harus adil, kalau sudah ada yang dikembalikan dan sudah dirampas oleh negara, maka harus diperhitungkan. Yang penting, kerugian negara itu dikembalikan," kata Krisna. Surat dakwaan penuntut umum, lanjut Krisna, menyatakan kerugian negara adalah nilai premi asuransi sejumlah Rp14,8 miliar dikurangi diskon 34 persen yang diberikan oleh Asuransi Bumida sejumlah Rp5,032 miliar dan dikurangi lagi oleh jumlah yang telah dibayarkan kepada petugas Pemilu di seluruh Indonesia. Karena itu, majelis hakim kasasi juga memperhitungkan jumlah kerugian yang telah dikembalikan dan yang telah dirampas oleh para terdakwa. Majelis hakim yang sama juga memutus perkara kasasi terdakwa penerima aliran dana taktis KPU, yaitu pejabat Ditjen Perbendaharaan Negara Sudji Darmono dan Ishak Harahap. Majelis hakim kasasi menjatuhkan hukuman pidana dua tahun dan denda Rp50 juta subsider dua bulan kurungan yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006