Publik menyadari hasil survei dari lembaga survei memiliki dampak sangat besar terhadap masyarakat meskipun hasil survei itu belum tentu benar dan belum tentu bisa dipertanggungjawabkan secara akademis,"
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI Wahidin Ismail mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur etika lembaga survei agar hasil-hasil surveinya tidak membingungkan masyarakat.

"Publik menyadari hasil survei dari lembaga survei memiliki dampak sangat besar terhadap masyarakat meskipun hasil survei itu belum tentu benar dan belum tentu bisa dipertanggungjawabkan secara akademis," kata Wahidin Ismail pada diskusi "Dialog Pilar Negara: Etika Lembaga Survei" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.

Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah Anggota Komisi II DPR RI Agus Purnomo dan pengamat politik dari Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noer.

Menurut Wahidin, perlunya KPU mengatur lembaga survei karena menjelang pemilu banyak bermunculan lembaga survei baru yang hasilnya cukup membingungkan.

Lembaga survei, kata dia, mestinya independen, dan dalam koridor nilai akademis pada saat melakukan survei, bukannya mengikuti keinginan lembaga pemesan.

"Kita bersyukur karena masyarakat tidak menerima begitu saja hasil survei," katanya.

Anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat ini mengharapkan agar lembaga survei bekerja profesional, independen, dan objektif maka KPU perlu membuat aturan soal keberadaan dan kerja lembaga survei.

Ia meminta agar lembaga survei bisa transparan, dari metodologi, latar belakang dan sasaran survei, pemilihan responden, lembaga pemesan, hingga sumber pendanaan.

Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noer mwnyatakan tidak sepakat pada pandangan Wahidin Ismail.

Menurut dia, lembaga survei memang harus profesional dan independen tapi tidak perlu diatur oleh lembaga pemerintah, termasuk KPU.

Firman mengusulkan agar lembaga-lembaga survei di Indonesia membentuk asosiasi dan mengatur kode etiknya sendiri.

"Dalam kode etik itu mengatur bagaimana sebuah lembaga survei berperilaku dan menjaga independensi," kata Firman.

Menurut dia, lembaga-lembaga survei di Indonsia tidak seluruhnya berperilaku profesional dan bersikap independen, tapi ada juga lembaga survei yang melakukan survei hanya untuk menyenangkan lembaga pemesan.

Perilaku lembaga survei seperti ini, kata dia, masih mungkin terjadi di negara yang sistem demokrasinya belum matang seperti di Indonesia.

"Di negara-negara maju, lembaga-lembaga survei berusaha menjaga kredibilitasnya dengan memperbaiki metodologi survei dan menjaga independensi," katanya.

Karena itu, Firman mengusulkan agar lembaga-lembaga survei di Indonesia membentuk lembaga profesi sendiri seperti asosiasi lembaga survei.

Di lembaga profesi yang dibentuk tersebut, lembaga-lembaga survei mengatur kode etik dan bagaimana berperilaku sehingga lembaga survei bisa bersikap independen dan mendapat kepervcayaan tinggi dari masyarakat.

Dengan adanya lembaga profesi tersebut, kata dia, maka lembaga survei seharusnya lebih transparan termasuk sumber pendanaannya serta bertanggung jawab atas hasil surveinya.
(R024/I007)

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013