Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshidiqie menyatakan multipartai seperti yang diterapkan di Indonesia pada Pemilu 1955, Pemilu 1971, dan Pemilu 1999 hingga sekarang, telah menyulitkan penerapan sistem pemerintahan presidensial secara efektif.

"Hal itu terbukti dalam pemerintahan yang terbentuk di masa reformasi, mulai dari pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai SBY," kata Jimly dalam makalah berjudul "Dinamika Partai Politik dan Demokrasi" yang diperoleh ANTARA di Jakarta, Minggu.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menegaskan keperluan mengakomodasikan kepentingan banyak partai politik untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan efektivitas pemerintahan.

Pada periode awal kemerdekaan, katanya, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik.

Bahkan, banyak juga calon-calon independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955. Tak kurang dari 172 peserta Pemilu 1955 terdiri atas partai politik dan peserta perseorangan.

Sistem multipartai terus dipraktikkan sampai awal periode Orde Baru sejak 1966 dan diterapkan pada Pemilu 1971, terdapat 10 partai politik yang menjadi peserta Pemilu pada saat itu.

Namun, katanya, pada Pemilu 1977, jumlah partai politik dibatasi hanya tiga bahkan secara resmi yang disebut sebagai partai politik hanya dua yaitu PPP dan PDI,sedangkan Golkar tidak disebut sebagai partai politik, melainkan golongan karya saja.

Jimly mengatakan, baru di masa reformasi kebebasan berpartai kembali dibuka dan tiba-tiba jumlah partai politik meningkat tajam sesuai dengan tingkat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat majemuk Indonesia.

15 parpol


Pada Pemilu 1999 terdapat 48 partai politik peserta pemilu, pada Pemilu 2004 terdapat 24 partai politik, pada Pemilu 2009 terdapat 38 partai politik tingkat nasional dan sejumlah partai politik lokal di Aceh, dan pada Pemilu 2014 terdapat 12 partai politik tingkat nasional dan tiga partai politik lokal di Aceh.

Seiring dengan perkembangan, katanya, penyederhanaan partai akan berjalan secara alamiah bila pengetatan persyaratan pembentukan partai politik dilakukan, misalnya, harus memenuhi ketentuan ambang batas perolehan kursi di parlemen yang semakin ditinggikan angkanya.

"Tentu keadaannya akan berubah semakin baik," katanya.

Ia menegaskan sejalan dengan tahap-tahap konsolidasi sistem politik yang dilakukan sebagai respons atas banyaknya pengalaman pahit selama periode 10 tahun reformasi, Mahkamah Konstitusi pernah telah memutuskan satu kebijakan penting yaitu pemilihan umum dengan sistem suara terbanyak sebagai sistem yang dianggap paling sesuai dengan maksud UUD 1945 mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum.

Implikasi lebih lanjut dari sistem suara terbanyak itu tentu di masa depan, katanya, peranan individu wakil rakyat akan berkembang menjadi semakin penting.

Sementara itu, peranan partai politik sebagai organisasi dalam penentuan nomor urut menjadi semakin kurang penting.

Dalam jangka panjang, menurut Jimly, siapa saja yang berkeinginan menjadi wakil rakyat haruslah lebih dekat kepada rakyat daripada menghabiskan waktu menjadi pengurus partai politik yang diharapkan dapat menjamin diperolehnya nomor urut calon dengan nomor kecil.

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013