Oleh Ir. M. Soffian Hadi *) Surabaya (ANTARA News) - Alam selalu memberi petunjuk akan segala sesuatu yang akan dan sudah dilakukannya dengan sangat jelas, bahkan seringkali dalam rekam jejak yang sangat indah bagi siapa pun yang cukup rendah hati dan membuka mata hati. Sewaktu menghadiri diskusi fenomena semburan gas dan lumpur di Jawa Timur yang diselenggarakan komunitas peduli lingkungan di salah satu kafe di kawasan Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, penulis sempat terperangah manakala mayoritas hadirin memastikan bahwa semuanya diakibatkan oleh kesalahan pihak pengelola eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di lokasi tersebut, PT Lapindo Brantas Inc. Dalam pengertian penulis, sebuah bencana selalu terjadi ketika rangkaian faktor penyebab bencana terakumulasi, dimana akumulasi skornya mencapai besaran yang akibatnya kemudian disebut sebut bencana. Serangkaian faktor tersebut, diantaranya adalah densitas penduduk, kegiatan manusia yang destruktif dan potensi alam itu sendiri untuk ”berulah” sesuai perilaku yang dapat disebut "sudah dari sononya." Kita harus melihat konstribusi masing-masing skor tadi untuk belajar supaya tidak lagi mengalami ”bencana” yang sama. Jadi, kalau kita mencari tahu sumbangan faktor alami dalam kasus semburan lumpur Porong, maka jangan dipahami dalam konteks mencari alasan pengelak bagi PT Lapindo Brantas Inc. Dari rangkaian diskusi panjang dari banyak tim yang sudah mulai mengerucut, meskipun belum seutuhnya sampai pada kesimpulan yang menggembirakan banyak pihak, ternyata masih terlihat ketegaran adu konsep yang masih kadang bersifat kualitatif, dimana subyektivitas dan "pesta pora" keilmiahan ini, bisa saja melupakan besarnya ancaman tehadap kelayakan warga yang menjadi korban langsung fenomena lumpur di Sidoarjo. Konstribusi faktor alam agaknya dapat dilihat melalui salinan peta geologi buatan kolonial Belanda, terbitan 1938. Penulis mendapatkan salinan itu pada akhir Juli 2006 di Jatinangor berdasarkan hasil keuletan seorang sahabat baik yang membongkar-bongkar perpustakaan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) Bandung, Jawa Barat. Sayangnya, peta semacam ini justru lebih sering terabaikan, termasuk di kalangan pakar, penanam modal, maupun politisi. Salinan peta tersebut memperlihatkan bahwa di peta lembar Sidoarjo tertera keberadaan dua "moddervulkanen" atau "mudvolkano" alias gunung lumpur di daerah Gedangan, satu di Desa Poeloengan, dan satunya lagi di Desa Betro, Buncitan, Kalang Anyar. Penulis baru bisa lakukan pengujian di lokasi pada 12 Agustus 2006, sewaktu menguji lokasi di Gunung Anyar, Rungkut, Surabaya Selatan. Gunung lumpur purba itu terlihat dimensinya ”tidak lebih besar dari bentukan semburan Banjar Panji”. Tetapi, sewaktu melihat peninggalan Tawang Alun, hasilnya benar benar luar biasa. "Cone" (kerucut) yang tersisa sekarang meliputi luasan yang setidak-tidaknya mencapai dua hektare (Ha), puncak tertinggi masih sekitar tujuh hingga delapan meter. Padahal, menurut catatan Belanda terbitan 1938 tingginya sekira 15-an meter. Sedangkan, menurut Mbah Jum, sang juru kunci Candi, dulunya puncak ”gunung lumpur” tersebut setidak-tidaknya mencapai 20-an meter. Keberadaan situs Candi pada lereng utara barat ”gunung” berbahan penyusun batubata merah itu dalam amatan penulis dari sisi geologis dapat perkirakan sebagai peninggalan Majapahit (catatan: mohon koreksi para arkeolog bila ada kekeliruan kajian). Candi Tawang Alun tersebut, seperti banyak candi lain, ”termakan” cuaca dan "dihajar" vandalis (perusak), dan yang lebih menyedihkan lagi, menurut mbah Jum, ”material” pembentuk gunung lumpur tersebut sering digusur alat berat oleh satu instansi pemerintah yang mendirikan kantor di sebelah situs geologi dan arkeologi sebagai material urugan, agar kantor tersebut tidak mudah kebanjiran lantaran berada di kawasan pertambakan. Bahkan, belum lama ini areal tersebut digusur, dipotong lagi, menggunakan alat berat untuk pembangunan jalan. Pihak penggusur agaknya menerapkan pendapat bahwa kita memang berhak menggunakan setiap sumber daya alam untuk sebesar-besarnya demi kepentingan manusia. Keberadaan candi itu sendiri sangat mungkin bukan sekadar lokasi ritual di tempat eksotis, tinggian di hamparan rawa, dan anomali yang sangat dicari para geolog. Namun, cabdi tersebut bisa saja berfungsi semacam menara suar, prasasti, dokumentasi tertulis bagi peringatan generasi berikut tentang feonomena luar biasa yang pernah terjadi di masa tertentu, dan menjadi tonggak pengingat bagi siapa pun, bahkan cerminan kearifan masyarakat lokal (local wisdom) yang dijaga oleh sistem dokumentasi ilmiah kolonial --tercantum dalam peta geologi 1938-- yang telah kita abaikan begitu saja keberadaannya. Masalahnya, dengan hancurnya bukti-bukti semacam itu --dan kalau pun para geolog mampu menghitung laju erosi dan denudasi pada wilayah dan pada batuan tersebut-- menjadi sulit untuk sebuah usaha rekonstrusi dimensi, seperti seberapa besar gunung lumpur tersebut dulunya, kalau setelah 700 tahunan sisa padatannya saja masih setinggi 20 meteran? Rangkaian Kendeng Zone, setidak-tidaknya bukti yang terlacak, fenomena gunung lumpur didapati di Sangiran, Kuwu Purwodadi (masih aktif menyebur sampai sekarang), Tuban, Koneng Bangkalan, Gunung Anyar di Rungkut Surabaya (masih aktif), Pulungan, Kalang Anyar (juga masih aktif), Gedangan di Sidoarjo (Jawa Timur), Banjarpanji fase erupsi besar, sebelah utara Probolinggo (Jawa Timur), sebelah utara Bali sampai sebelah utara Lombok (Nusa Tenggara Barat). Tiga lokasi terakhir ini semuanya di bawah permukaan laut. Kelurusan "north east", utara timur garis Banjarpanji-KalangAnyar-GunungAnyar–Koneng, dimana Kalang Anyar memotong antiklin Poeloengan, dan Banjar Panji mungkin memotong antiklin Sekarpoetih, serta satu kelurusan yang bisa jadi melurus dari patahan geser Watukosek, sehingga benar-benar sesuatu yang perlu diperhatikan dari aspek kontribusi faktor alami. Pada hari ke sepuluh, minggu kedua setelah semburan lumpur garapan PT Lapindo Brantas Inc. dimulai, penulis dalam sebuah diskusi sempat dicecar habis ketika mengajukan usul kajian geologis, yakni bagaimana kalau lumpur di kawasan Porong, Sidoarjo, tersebut dibuang ke laut? Dengan mengacu peta geologi kolonial edisi 1938 dan membandingkannya dengan citra satelit (satellite image) yang ada didapati bahwa tanpa sumbangan lumpur Banjarpanji, maka tanah oloran, laju sedimentasi delta kali Porong saat ini sekira 3,5 hingga empat (4) kilometer dari kondisi 70-an tahun lalu (periode 1938-2006), atau artinya sekira 50 hingga 70 meter per tahun. Hasil hitungan seorang rekan di IAGI NET, luas delta tersebut sekira 30 kilometer persegi, artinya kalau ratio cairan dan padatan sekira 70% hingga 30%, maka jumlah padatan produksi Banjarpanji mencapai 15.000-an meter kubik per hari. Dan, kalau tersebar merata dalam luasan 30 kilometer persegi, maka akan terjadi kenaikan setinggi 0,5 milimeter per hari atau 20-an centimeter per tahun. Seandainya lebar kali Porong 50 meter, dan berkedalaman tiga (3) meter, serta memiliki laju aliran 0,5m per detik, maka debitnya mencapai 75 meter persegi per detik. Kalau Banjarpanji mengeluarkan lumpur 578 liter per detik sedemikian mengawatirkankah volume imbuhan itu? Bukankah kontroversial, ketika kita sebutkan kehadiran logam berat dan di saat yang sama kita sebutkan lumpur sedemikian ringan hingga akan ada jalan mengelilingi dunia (around the world), sampai Kalianget, Singaraja, Muncar? Kalau erupsi Kalang Anyar "moddervulkanen" sedemikan besar dan lumpurnya jalan-jalan, seperti skenario di atas, maka bisa dipastikan kejadian ini dengan melihat rekaman jejaknya di kehidupan karang (reef) di Pulau Kambing (Sampang), Gili Ketapang (Probolinggo), Pasir Putih Situbondo, Tulamben, Pulau Menjangan Bali yang jaraknya lebih dekat. Sedemikian sensitifnya kehidupan karang tersebut sebagai indikator kehadiran koloid di air laut jelas sekali adalah kerusakan sisi barat karang laut Pasir Putih yang tertimbun lumpur hasil penebangan liar awal zaman reformasi yang memicu longsor di Pantai Situbondo, meskipun terjadi bencana pelumpuran. Hal semacam ini juga di Sampang, lokasi yang tidak tertimbun langsung masih bertahan, artinya di laut ada "barrier" (rintangan) mekanisme sebaran kadar garam, gelombang, arus panas, "up welling" (sumur angkat) yang tidak begitu saja mengizinkan pencemar alami berperilaku seperti yang dibayangkan. Selain itu, banyak orang juga belum membandingan karakteristik lumpur produk sisi satunya delta Brantas. Kalimas dengan deposit yang tertimbun sekitar Kenjeran yang juga lumpu. Bagaimana perbandingan komposisi kimiawinya dan jumlahnya dibanding lumpur Banjar Panji. Mana yang lebih mengawatirkan di antara keduanya? Indikasi kehadiran logam berat disepakati banyak pihak mengenai luapan lumpur di Sidoarjo, tetapi belum diumumkan kepada khalayak logam berat tersebut dalam bentuk radikal bebas atau dalam senyawa garam? Kalau dalam bentuk senyawa garam masih ditakutkan, bila masuk kondisi asam akan lepas menjadi radikal bebas yang berbahaya, lantas dimana lingkungan ”di bawah” jembatan Porong yang boleh disebut lingkungan ”asam”, kalaupun ada apakah jumlahnya, kuantitasnya masuk ambang bahaya? Kehadiran "phenol" (fenol) dianggap berbahaya, namun sudahkah dipastikan lokasi samplingnya? Apakah "phenol" tersebut mempunyai sidik jari (finger print) alami atau berasal dari limbah industri semisal pestisida? Dalam dua hingga tiga minggu daftar pertanyaan itu mungkin tunggu hasil laboratorium, setelah dua setengah bulan, apalagi yang perlu ditutupi? Setelah 80 hari para pengambil keputusan masih saja bergerak di wilayah wacana kualitatif, artinya masyarakat tetap belum diizinkan tahu teknik menangani macam apa yang akan di pakai, seberapa besar instalasinya, seberapa besar efektivitasnya, bahan apa saja yang dipakai sebagai koagulan, berapa biayanya, seberapa besar tingkat keberhasilannya, bagaimana kalau ternyata produksinya setara dengan Kalang Anyar, atau menunggu setebal setidak-tidaknya 20-an meter baru berhenti? Sebanyak 50.000 (lima puluh ribu) meter kubik per hari setara 314.000 barrels, setara dengan sekira sepertiga (1/3) konsumsi minyak di Indonesia, dimana kita sekarang ”hanya” mampu memompa 800.000 barrel minyak bumi dari seluruh sumur di Indonesia, itulah luapan lumpur di kawasan Porong per hari sejak medio Juni 2006. Menurut kalangan perminyakan, produksi satu sumur hanya 5.000an barrel per hari. Kalau berat jenis minyak sekira 0,8, sedangkan berat jenis lumpur 1,3, maka dengan asal usul lumpur diperkirakan dari kedalaman 1.500 hingga 2.000-an meter sudah tersediakah alat yang berkekuatan setara untuk melakukan penyumbatan? Lantas, siapa yang bersedia menjamin bahwa keberhasilan penyumbatan tidak diikuti semburan di tempat lain, kalau catatan perilaku semburan lumpur di daerah itu ternyata cukup banyak? Hal ini tentunya dalam kurun waktu alami, dan bukan dalam pemahaman waktu usia manusia, karena peta kolonial Belanda pada 1938 dan monumen alam yang ada saja relatif pendek waktunya kita hancurkan dengan alat-alat berat. Sekali lagi, hal ini semua tidak bermaksud sebagai langkah pengelakan untuk kepentingan pihak tertentu, namun semua pihak agaknya harus memahami kondisinya secara komprehensif, mengutamakan kondisi lokal, regional, rentang waktu yang lebih luas dari data reaksi alam. Semuanya! Agar, kita semua pun tidak terperosok di "lumpur" masalah lagi di masa depan. (*) *)Penulis adalah Dosen Universitas 17 Agustus (Untag) dan Universitas Narotama Surabaya; mantan Hubungan Masyarakat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI); Alumnus Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran di Yogyakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006