Jakarta, 26/11 (ANTARA) -- Ancaman penyakit masih saja menjadi kendala usaha perikanan budidaya di manapun di dunia. Beberapa jenis penyakit diketahui sangat berbahaya bagi keberlanjutan usaha budidaya, bahkan dalam waktu relatif sangat singkat mampu menghancurkan usaha budidaya di suatu wilayah atau bahkan sebagian besar wilayah negara. Kebanyakan jenis penyakit tersebut adalah jenis penyakit yang mampu  melintasi batas negara (trans-boundary fish diseases). Penyakit ini terbawa ikan atau produk perikanan yang diperdagangkan antar negara.

Menyadari akan ancaman penyakit ikan berbahaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus melakukan sinergitas dalam pencegahan dan pengendalian penyakit ikan karantina. Di antaranya melalui Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) dan Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB), terus melakukan pemantauan terhadap penyebaran penyakit ikan di seluruh kawasan budidaya. "KKP juga melakukan koordinasi dalam melakukan pemberantasan penyakit dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota, para pelaku usaha baik pembudidaya ikan maupun eksportir dan importir ikan di setiap daerah," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Sharif C. Sutardjo, pada Seminar Nasional Penyakit Ikan Karantina, di Jakarta, Selasa (26/11).

Sharif menjelaskan, penyakit ikan memang terus menjadi ancaman serius. Terakhir, munculnya penyakit baru (emerging disease) pada budidaya udang yang dikenal dengan nama Early Moratality Syndrome (EMS) atau  Acute Hepatopancreatic Necrosis Syndrome (AHPNS). Penyakit ini mampu menyebabkan kematian fatal (100%) udang umur 20 -  30 hari. Penyakit ini pertama kali muncul di China (2009) kemudian menyebar ke Vietnam (2010), Malaysia (2011), Thailand (2012) dan terakhir diketahui telah menyerang usaha budidaya udang di Meksiko (Mei 2013). Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26/KEPMEN-KP/2013 telah menetapkan penyakit EMS/AHPNS sebagai Hama dan Penyakit Ikan Karantina yang diwaspadai untuk tidak masuk ke Indonesia. "Pencegahan telah dilakukan KKP, terutama melalui tindakan penolakan terhadap udang yang berasal dari negara-negara yang telah terinfeksi penyakit tersebut," jelasnya.

Dampak serangan penyakit EMS/AHPNS, ujar Sharif, memang luar biasa. Di Vietnam serangan penyakit EMS/AHPNS ini menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 1 triliun. Di Thailand, untuk membasmi penyakit ini, pemerintah Thailand bersama petani tambak, bahkan harus mengeringkan 90% tambak yang ada di Thailand. Di Malaysia, terjadi penurunan produksi udang akibat serangan EMS sekitar 30.000 ton pada tahun 2011 atau sekitar 42% dari produksi normalnya. Wabah EMS/AHPNS juga telah menyebabkan penurunan ekspor udang ke USA dari negara-negara yang terkena wabah. "Pada tahun 2013 terjadi penurunan ekspor udang dari Thailand sebanyak 23,8% atau senilai US$ 39,4 juta,Vietnam 19,7% atau senilai US$ 15 juta, dan China 28,4% senilai US$ 12,3 juta," ujarnya.
   
Berbagai Penyakit Ikan

Masuknya beberapa jenis ikan ke Indonesia juga menjadi media penyebaran penyakit ikan. Beberapa jenis penyakit berbahaya terbawa masuk ke Indonesia seperti Ichthyophtirius multifiliis, Lernaea cyprinacea, White Spot Syndrome Virus (WSSV), Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV), Koi Herpes Virus (KHV), dan Taura Syndrome Virus (TSV), yang biasa disebut sebagai penyakit ikan eksotik. "Bahkan, disinyalir penyakit Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) yang diketemukan menyerang udang Vanamei di Situbondo pada bulan Mei 2006 pantas diduga sebagai hasil konspirasi atau bentuk bioterorisme untuk menghancurkan Indonesia sebagai produsen udang utama dunia," katanya.

Sharif menuturkan, serangan penyalit ikan juga pernah menghancurkan perikanan di Indonesia. Di antaranya, Virus ikan Koi yang lebih dikenal dengan Koi Herpes Virus yang meluluh lantakan usaha budidaya ikan mas dan koi di beberapa wilayah Indonesia menimbulkan kematian massal sampai 95% populasi dan kerugian ekonomi yang cukup besar. Di Jawa Barat penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp. 100 milyar pada tahun 2002. Diperkirakan sampai dengan tahun 2006 kerugian total berdasarkan kasus yang diketahui, mencapai Rp. 250 milyar. Penyakit KHV ini diketahui juga telah menyebabkan kerugian ekonomi yang fantastis di Israel pada tahun 2002 - 2003 yang mencapai US $ 4 juta per tahun.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2013