Jakarta (ANTARA News) - Pada abad pertengahan nenek moyang Fatma Pasha berusaha menaklukkan Eropa dengan pedang.

Di bawah pimpinan panglima perang ternama Dinasti Utsmaniah, Kara Mustafa Pasha, para prajurit Kesultanan Turki itu jauh meninggalkan tanah airnya menuju jantung Eropa.

Namun, upaya Kara Mustafa Pasha tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan kegagalannya disebut-sebut diabadikan dalam bentuk roti croissant (roti gandum berbentuk bulan sabit yang menyerupai simbol bendera Turki).

Kara Mustafa Pasha boleh jadi harus menemui ajal di tangan penguasa Turki saat itu yang menilai kekalahannya sebagai suatu aib besar.

Namun, ratusan tahun kemudian keturunannya tidak jera untuk kembali ke Eropa, salah satunya adalah Fatma Pasha, seorang wanita keturunan Turki yang mengulurkan persahabatan kepada Hanum Salsabiela Rais, seorang perempuan Indonesia yang mengikuti suaminya, Rangga Almahendra, menempuh pendidikan S-3 di Austria.

Fatma Pasha, yang dituturkan Hanum, dikenalnya dalam sebuah kursus Bahasa Jerman gratis di Wina, datang ke Austria--negara terakhir di Eropa dalam rute ekspansi tentara Kerajaan Islam--dengan misi yang bertolak belakang dengan nenek moyangnya, yaitu menaklukkan Eropa dengan senyum dan kebaikan.

"Menjadi agen muslim yang baik," tuturnya saat menjelaskan kepada Hanum alasan dia membayar makanan sepasang wisatawan yang mencemooh Turki.

Sepenggal kisah Kara Mustafa Pasha yang disebutkan merupakan nenek moyang Fatma Pasha itu menjadi benang merah yang menghubungkan Wina (Austria), Paris (Prancis), Cordoba (Spanyol), Istanbul (Turki), dan pada akhirnya Mekah (Arab Saudi).

Kota-kota tempat Hanum dan suaminya, Rangga, menyusuri jejak peradaban Islam di Eropa.

Catatan perjalanan spiritual pasangan itulah yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul "99 Cahaya di Langit Eropa" yang kemudian diadaptasi dalam film berjudul sama oleh sutradara Guntur Soeharjanto.

Dengan mendapuk sejumlah bintang muda populer Indonesia untuk menghidupkan karakter-karakter dalam film itu, film berdurasi lebih kurang 90 menit itu mengikuti perjalanan Hanum yang terpaksa menjadi pengangguran di Wina karena tidak berhasil memperoleh pekerjaan.

Sementara sang suami sibuk dengan pendidikan, Hanum yang merupakan anak perempuan dari mantan Ketua MPR Amien Rais, lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen sebelum akhirnya mengikuti kursus gratis bahasa Jerman yang mempertemukannya dengan Fatma Pasha.

Dua ibu rumah tangga itu mengisi hari-harinya dengan menyusuri jejak peradaban Islam di Wina.

Perjalanan mereka ditemani oleh anak perempuan Fatma yang bernama Ayse. Seorang gadis cilik tangguh yang ternyata menyimpan sebuah kisah sedih.

Di Wina, Fatma memperkenalkan Hanum pada Kara Mustafa Pasha, yang lukisannya disimpan di Museum Wina.

Selain mengisahkan persahabatan Fatma (Raline Shah) dan Hanum (Acha Septriasa), film itu juga mengisahkan bagaimana pasangan itu berusaha menyesuaikan diri dengan budaya negara tempat mereka tinggal yang tentunya jauh berbeda dengan Indonesia dan menjadi muslim yang baik.

Sejumlah tantangan dikemas dalam dialog-dialog ringan penuh falsafah tentang Ketuhanan antara Rangga (Abimana Aryasatya) dengan teman-teman kuliahnya antara lain Khan (Alex Abbad), Stephan (Nino Frenandez) dan Maarja (Marissa Nasution), mulai dari kesulitan mencari makanan halal, jadwal ujian yang bentrok dengan Sholat Jumat, salat wajib bagi pria muslim, hingga terorisme yang identik dengan Islam.

Kepada Hanum, Fatma juga berkisah tentang Paris, kota di mana disebutkan banyak terdapat sisa-sisa kejayaan Islam.

Ketika suatu saat Hanum menemani suaminya mengikuti sebuah konferensi di Paris, ia berkesempatan menjelajahi Paris dengan ditemani Marion (Dewi Sandra), seorang peneliti sejarah Islam yang juga mualaf sahabat Fatma.

Dari keterangan Marion, Hanum menyaksikan betapa banyak pesan dakwah Islam dalam bentuk kaligrafi (kufic) di benda-benda abad Renaisance, antara lain adalah lafal "Tiada Tuhan Selain Allah" di kerudung Bunda Maria.

Agen Islam di Eropa
Rangga Almahendra, sebelum pemutaran perdana film itu di Djakarta Theater, Jumat malam (29/11), mengatakan, jika film itu sebagaimana bukunya memiliki misi untuk mengajak umat muslim menjadi agen muslim yang baik dengan senantiasa menyebarkan kebaikan dan perdamaian.

"Ini diadaptasi dari perjalanan kisah nyata kami berdua... tantangan menghadapi kehidupan lintas budaya dan menjadi minoritas," kata Rangga merujuk pada dirinya dan istrinya Hanum.

Sementara Hanum mengatakan, jika Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia di mana pun berada dapat menjadi jembatan untuk mengatasi perbedaan dan membawa perdamaian.

Pada kesempatan itu Hanum juga menjanjikan sekuel dari film tersebut pada tahun 2014.

Film yang dibagi dalam dua seri itu menampilkan sisi Islam di Eropa yang belum banyak diungkap melalui perjalanan penulis ke tempat-tempat bernapaskan sejarah Islam di Eropa. Untuk seri pertama ini, film itu memaparkan keindahan Wina dan Paris yang diawali dengan narasi perjalanan Kara Mustafa Pasha.

Seri kedua film itu yang dijadwalkan akan dimulai tahun depan akan menampilkan perjalanan di Spanyol dan Turki.

Sayangnya, sebagian kisah tentang peradaban Islam dalam film itu hanya tertutur dari keterangan Fatma yang tidak banyak dijelaskan latar belakang pendidikannya.

Padahal, dalam film itu juga disebutkan keberadaan Marion seorang peneliti sejarah Islam yang sayangnya tidak diberi banyak porsi.

Apabila semua kisah itu juga dilengkapi dengan penjabaran historis yang memadai maka tentunya semua kisah yang tertutur lebih memiliki makna seperti saat Hanum menuturkan garis imajiner antara gerbang kemenangan di Paris dan Kakbah di Mekah.

Namun, terlepas dari itu, film tersebut memberikan warna lain dari film-film bernuansa Islam sebelumnya.

Film ini bertutur tentang cinta yang lebih luas dari sekedar kisah cinta sejumlah film bernapaskan Islam sebelumnya, yaitu cinta kepada Tuhan.

Pewarta: GNC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013