Para penghulu di Jawa Timur membuat gerakan menolak menikahkan pasangan pengantin pada hari libur, Sabtu dan Minggu, yang kemudian berujung menimbulkan kegelisahan di kalangan keluarga yang hendak menikahkan putra/putrinya.

Gerakan itu tak sepenuhnya mendapat dukungan. Sebagian di antara mereka tidak mengindahkan larangan itu dengan alasan menikahkan pasangan pengantin merupakan kewajiban.

Sementara penghulu yang bertahan dengan pendirian menolak menikahkan pada hari libur, mengusung alasan menghindari gratifikasi, yang belakangan ini banyak dialamatkan kepada mereka.

Para penghulu belakangan ini kembali mendapat ujian. Citranya pun mengalami degradasi. Stigma penghulu menerima gratifikasi menguat.

Sebelumnya penghulu dihadapkan dengan kasus kelangkaan buku nikah dan terakhir rencana aksi tidak melayani pernikahan di luar jam kantor atau di hari libur pada Sabtu dan Minggu.

Kasus ini ternyata "menyenggol" suasana kerukunan intern umat beragama, khususnya di kalangan umat Islam, yang sejak lama dibangun Kementerian Agama (Kemenag), untuk dapat melaksanakan kehidupan dalam suasana harmoni, penuh toleransi dan damai.

Realitas di tengah masyarakat, penghulu berada pada kedudukan tinggi. Sebab, mereka itu adalah panutan warga dalam bermasyarakat.

Ini cukup logis, karena saat pernikahan berlangsung siapa lagi yang memimpin doa dan segala petuahnya kalau bukan penghulu yang menyampaikan.

Kalaupun hanya menjalankan tugas pencatatan, namun keluarga pengantin menuntut lebih seperti menyampaikan khutbah nikah, siraman rohani dan memandu seluruh jalannya pernikahan. Dengan cara itu, suasana pernikahan pun terasa sakral.

Terasa agung bagi kedua keluarga pengantin. Padahal, tugas pokok penghulu --baik ketika menikahkan di kantor urusan agama (KUA) maupun di keduaman/gedung-- adalah mencatat pernikahan.

Realitas lain yang dihadapi penghulu adalah tantangan geografis Indonesia. Banyak di antara penghulu menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja. Sulitnya transportasi, ketiadaan dukungan dana dan sarana.

Hal ini oleh berbagai pihak sudah diketahui. Belum lagi tuntutan keluarga pengantin yang meminta menikahkan pada hari, jam dan waktu yang sudah ditentukan.


Realitas dan klenik

Mengenai waktu menikah itu, Menteri Agama Suryadharma Ali sempat berkomentar, dalam kasus tertentu, nikah kadang berbau "klenik". Nikah dimaknai sebagai suasana magis.

Ada keluarga harus menikahkan pada bulan, hari dan jam yang sudah ditentukan. "Bahkan sampai detiknya pun harus diperhatikan dan diikuti, harus sesuai dengan petunjuk Primbon," ujar Suryadharma Ali.

Karena demikian pentingnya pernikahan itu, sehingga ada keluarga menempatkan posisi tinggi. Sebagai konsekuensinya, keluarga bersangkutan merasa malu jika tidak memberikan "imbalan" sebagai pengganti ongkos lelah penghulu "yang bersusah payah" hadir dan menikahkan putra/putrinya itu.

Beranjak dari persoalan pemberian "imbalan" itulah, belakangan mencuat kembali persoalan penghulu menerima gratifikasi.

Gratifikasi, atau dalam bahasa awam dimaknai sebagai menerima hadiah, dianggap menyalahi aturan.

Pasalnya, penghulu sudah menerima gaji sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Tentunya menerima imbalan sangat bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.

Karena itu, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi mengungkapkan, penghulu bisa dikatakan menerima gratifikasi jika dia mengambil ongkos biaya nikah lebih dari yang ditetapkan peraturan pemerintah.

Bisa digolongkan korupsi jika tidak dilaporkan si penghulu paling lambat 30 hari setelah diterima adanya laporan.

Seperti diberitakan, Kepala KUA Kecamatan Kediri Kota sekaligus Petugas Pencatat Nikah (P2N), Romli, ditahan oleh Kejaksaan Negeri Kota Kediri, Jatim.

Dia diduga terlibat pungli atas biaya pencatatan nikah di luar ketentuan yang ada selama kurun waktu setahun pada 2012.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kota Kediri Sundaya mengatakan, dugaan keterlibatan tersangka berupa penerimaan uang sebesar Rp50.000 dari setiap pernikahan di luar KUA, serta Rp10.000 tambahan karena jabatannya sebagai Kepala KUA.

Kejaksaan menjerat tersangka dengan tiga pasal, yaitu Pasal 11, Pasal 12 huruf e, serta Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tersangka Romli dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri hingga selama 20 hari sambil menunggu jadwal persidangan kasusnya di pengadilan Tipikor di Surabaya.

Reaksi atas penahanan Romli, para penghulu melalui Forum Komunikasi Kepala Kantor Urusan Agama (FKK KUA) se-Jatim menyatakan, tidak akan melayani akad nikah di luar Balai Nikah.

FKK KUA ini protes dengan ditangkapnya Romli dengan dugaan kasus menerima gratifikasi. Romly ditahan karena diduga menerima kelebihan biaya nikah sebesar Rp10 ribu tiap prosesi pernikahan.

Terkait dengan itu, Menteri Agama Suryadharma Ali meminta para petugas KUA, petugas pencatat nikah (P2N) dan pembantu petugas pencatat nikah (P3) se-Jatim, dan seluruh Indonesia tidak mogok.

Mereka diminta tetap melayani calon pengantin yang ingin menikah di balai nikah, maupun di tempat yang dikehendaki seperti di masjid, rumah dan hotel.



Gratifikasi dan solusi

SDA, sapaan akrab Menteri Agama yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mempertanyakan kriteria gratifikasi, apakah ucapan terima kasih yang sudah mentradisi, masuk dalam kategori sebagai gratifikasi? Karena yang namanya gratifikasi itu adalah seseorang yang memberikan sesuatu kepada pejabat karena orang itu urusannya dipersulit oleh pejabat tersebut.

Dalam persoalan pernikahan ini ada tradisi yang berlaku sejak lama yakni, biasanya yang hajat biasa mengucapkan terima kasih kepada petugas yang menikahkan memberikan kue, makanan, nasi ketan, atau ada yang memberikan amplop.

"Kalau tradisi seperti itu dianggap sebagai gratifikasi, kemudian yang bersangkutan harus berurusan dengan hukum. Sebab itu, petugas KUA khususnya di Jatim mengambil kebijakan untuk menikahkan pasangan calon pengantin di Balai Nikah, Kantor KUA, dan dilakukan pada jam kerja KUA," papar Suryadharma.

Langkah KUA se-Jatim ini memang bukan solusi yang terbaik karena umumnya mereka yang mau nikah memilih hari libur, Sabtu dan Minggu.

Selain itu, pasangan calon pengantin juga memilih tempatnya sendiri untuk berlangsung pernikahannya, baik di rumah, masjid atau hotel.

"Karenanya saya menilai sulit untuk mengatakan langkah KUA se-Jatim salah," kata Suryadharma Ali.

Dari aspek sosial kultural, ternyata anjuran nikah di KUA dari para petinggi di Kementerian Agama tidak mendapat apresiasi dari masyarakat.

Bahkan realitas yang ada justru penolakan, karena masyarakat di berbagai daerah sudah lama menempatkan penghulu dan KUA sebagai "garda" terdepan dari Kemenag dalam berbagai urusan yang menyangkut syariat Islam.

Adanya protes beberapa warga di KUA Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, terkait diberlakukannya moratorium bedolan nikah dan pernikahan harus dilakukan di salah satu institusi Kemenag itu merupakan suatu bentuk kemustahilan yang dapat dilakukan.

Ini adalah gambaran nyata, bahwa warga tidak memberikan apresiasi dari imbauan jajaran kementerian tersebut.

Warga menolak bedolan nikah seperti yang diberlakukan Kepala KUA setempat, Nurudin dan penghulunya Muhammad Aminuddin. Pemberlakuan hanya berlangsung tak lebih dua pekan, setelah itu sekitar beberapa warga memadati halaman kantor KUA setempat. Mereka memprotes atas diberlakukannya moratorium itu.

Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa menarik setelah Kemenag melalui Sekjennya Bahrul Hayat mengimbau umat Islam yang hendak menikahkan putra-puterinya atau anggota keluarganya, agar melakukan di KUA setempat.

Lantas apa solusinya. Inspektur Jenderal Kemenag M Yasin pernah mengusulkan agar menghapus seluruh biaya administrasi yang dibebankan kepada calon pengantin di KUA.

Langkah itu merupakan respon langsung atas keluhan masyarakat terkait pungutan liar oleh penghulu.

"Ini baru usulan yang kita usulkan ke pak menteri, disampaikan ke pak presiden dan harus didanai oleh APBN sehingga kalau bisa nikah itu gratis, yang Rp30 ribu itu harusnya tidak ada saja," kata mantan Ketua KPK itu.

Menurut Yasin, negara seharusnya yang membiayai para penghulu dalam sebuah pernikahan.

Dengan cara itu, masyarakat tidak diwajibkan membayar dalam jumlah tertentu. Toh, negara hanya menerima pemasukan Rp60 miliar per tahun dari biaya administrasi KUA sebesar Rp30 ribu per pasangan.

"Saya kira itu akan mendapat simpati dari masyarakat, daripada kita dituduh korup karena lebih dari Rp30 ribu dianggap suap," tandasnya.

Besaran uang jasa atau gratifikasi yang diberikan masyarakat kepada penghulu juga mendapatkan perhatian. Yasin mengusulkan, uang gratifikasi diberikan batasan dalam jumlah tertentu.

"Untuk pelaksanaannya, misalnya untuk para penghulu di hari libur itu, apakah itu gratifikasi atau bukan. Kalau iya gratifikasi, apakah ada pengaturan apakah gratifikasi itu boleh diterima batas minimal seperti di negara-negara tetangga itu. Di Malaysia, di Amerika Serikat, di Brazil itu 49 dolar," paparnya.

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013