Jakarta (ANTARA News) - Peraturan daerah mengenai pungutan terhadap pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan harus segara dihapus dan petugas kependudukan catatan sipil harus menyiapkan diri untuk memberi pelayanan yang prima.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Institut Kewarganegaraan Indonesia di Jakarta akhir pekan ini.

Diskusi tersebut bertujuan mengumpulkan berbagai perspektif terhadap perubahan yang terjadi pada UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

"Sudah ada perubahan-perubahan  besar dalam UU Adminduk. Ada perubahan stelsel, dulunya stelsel aktif untuk warga negara, sekarang stelsel aktif berada di tangan negara, negara yg aktif melayani rakyatnya," kata Ketua Umum IKI Slamet Effendy Yusuf.

Menurut Slamet, perubahan UU berupa pembebasan pembuatan dokumen kependudukan harus diikuti dengan anggaran pembiayaan Adminduk untuk seluruh Indonesia pada APBN P 2014.

Perubahan terbaru UU Administrasi Kependudukan disahkan DPR RI pada tanggal 23 November 2013  terdiri dari 31 perubahan baik dalam bentuk perbaikan redaksional, hingga perubahan substansi yang memberikan arah baru menuju terciptanya tertib administrasi kependudukan.

“Kami  berharap peraturan pelaksana dari UU ini segera terbit, serta memastikan bahwa perda-perda yang masih mengatur tentang biaya untuk dokumen-dokumen kependudukan segera dihapus,” kata Slamet.

Diskusi tersebut dihadiri antara lain Direktur Catatan Sipil Kemendagri Joko Mursito, Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemkumham Aidir Amin Daud, perwakilan Imigrasi, dinas-dinas kependudukan Jakarta dan sekitarnya, perkumpulan marga, Perca, KPAI, Jaker PAK dan lain-lain.

Direktur Catatan Sipil Kemendagri Joko Moersito mengemukakan perubahan tersebut harus diikuti dengan peningkatan pelayanan kependudukan.

"Yang kedua adalah menjamin akurasi data kependudukan dan ketunggalan NIK serta ketunggalan dokumen kependudukan," kata Joko.

Joko mengingatkan bahwa stelsel aktif bukan berarti penduduk tidak lagi mengisi formulir.

"Penduduk harus tetap mengisi formulir, tapi tidak perlu jauh-jauh pergi, petugas yang akan datang," kata Joko.

Lebih lanjut Direktur Catatan Sipil mengemukakan masing-masing kabupaten kota diminta menyiapkan data "by name by address"  tentang jumlah penduduk, balita, anak-anak sampai dengan usia 18 tahun, dan lain-lainnya.

"Kalau di suatu kelurahan ada lima ribu balita, umpamanya ada tiga ribu balita belum punya akte, bisa diketahui nama dan alamatnya," kata Joko.

Dia mengemukakan bahwa dengan "baseline" data tersebut, pelayanan tidak perlu menunggu penduduk datang.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013