...boleh saya meminta uang gaji saya? Saya ada perlu untuk kirim ke rumah saya di Indonesia."
Jakarta (ANTARA News) -  Dina Eka Safitri (24)  tersenyum lega ketika petugas Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah memanggil namanya di tengah kompleks rumah detensi imigrasi "Tarhil".

Tenaga Kerja Wanita (TKW) itu lalu menangis di antara puluhan wanita Indonesia lainnya yang juga menantikan saat kepulangan mereka ke Indonesia, di bawah terik matahari yang menyengat.

Petugas KJRI yang sudah memanggil puluhan nama pun memberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) sebagai sebuah tiket pulang untuk keluar dari rumah detensi imigrasi tersebut.

Dokumen pengganti paspor itu merupakan "tiket" Dina untuk pulang  ke kampung halaman dan meninggalkan kenangan pahit yang dijalani sebagai seorang pembantu rumah tangga di negeri penghasil minyak bumi terbesar itu.

Begitu ia menggenggam SPLP, sang petugas menyerukan untuk segera mengemasi barang-barangnya yang masih tertinggal di dalam "ambar", bahasa Arab untuk ruang detensi imigrasi dengan kapasitas 72 orang dengan 36 tempat tidur bertingkat.

Dina, perempuan asal Sumbawa  Nusa Tenggara Barat itu, terpaksa mengadu nasib berangkat ke Madinah Arab Saudi sejak dua tahun lalu untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Dina berangkat ke Madinah melalui agen Tenaga Kerja resmi di Indonesia secara legal. Awalnya, semua pekerjaan yang di jalaninya baik-baik saja.

Namun, selepas lima bulan pertama ia bekerja di Madinah, gaji yang biasa ia terima untuk sebagian dikirimkan ke adiknya di Sumbawa, mulai tidak dibayarkan oleh sang majikan.

Awalnya, Dina ragu untuk menagih haknya kepada sang majikan, namun setelah dua bulan dirinya tidak menerima gaji, sedangkan adiknya sudah menunggu kiriman sang kakak utnuk anaknya yang masih berusia empat tahun pada saat itu, maka ia mulai menagih kepada majikannya.

"Babah (sebutan Arab untuk bapak), boleh saya meminta uang gaji saya? Saya ada perlu untuk kirim ke rumah saya di Indonesia," ujar Dina.

Gadis itu  menceritakan pengalamannya kepada wartawan di rumah detensi imigrasi Tarhil, Shumaysi, yang terletak diantara kota Jeddah dan Mekah, dalam wilayah kerajaan Arab Saudi.

Dina menuturkan bahwa sang majikan hanya mengatakan "Iya nanti, saya belum pegang uang karena belum ambil dari ATM," dan begitu seterusnya.

Tujuh bulan kemudian, hasilnya masih tetap sama dengan jawaban yang hampir sama juga, belum pegang uang.

Selain haknya sebagai pekerja rumah tangga tidak terpenuhi, Dina juga menceritakan bagaimana perlakuan salah satu anak sang majikan yang kerap kali melakukan tindakan pelecehan seksual kepadanya.

"Kalau majikan saya lagi nggak di rumah, anaknya juga sering godain saya, padahal saya selalu menolaknya," ujar Dina saat dalam kisahnya.

Karena sudah tidak tahan berlama-lama bekerja di rumah itu atas perlakuan anak sang majikan dan gajinya yang tidak kunjung dibayarkan, Dina kemudian memutuskan untuk kabur ke Jeddah dengan membawa barang miliknya seadanya saja.

Saat itu Dina keluar dari rumah majikannya dengan tidak membawa serta paspor miliknya yang dipegang oleh sang majikan, sehingga membuatnya sebagai salah satu tenaga kerja asing yang ilegal.

"Saya kabur dari rumah majikan saya itu nggak bawa paspor, tapi cuma bawa kartu Iqama (kartu identitas kontrak kerja di Arab Saudi) saja," tambah Dina.

Legalitas Dina untuk bekerja di Arab Saudi seketika sirna ketika ia sudah kabur dan hanya berbekal "Iqama" dari majikan sebelumnya, diperparah lagi dengan paspor yang masih tertinggal di tangan sang majikan.

Setelah berhasil kabur, Dina berkelana ke Jeddah hingga ia kemudian mendapatkan majikan baru yang mau mempekerjakannya, namun kali ini ia mendapatkan haknya dan diperlakukan dengan baik.

Meski mendapatkan perlakuan baik dan gaji yang rutin dibayarkan, kenangan pahit di awal masa kerjanya masih menghantuinya dan ia kemudian mencari cara untuk bisa pulang ke Indonesia.

Tidak lama kemudian pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengumumkan amnesti, pemutihan, untuk para pekerja asing untuk memperbaiki status mereka entah untuk pembaharuan Iqama jika ingin terus bekerja di negara tersebut atau pembuatan SPLP bagi mereka yang memilih untuk pulang ke negara asalnya.

Pekerja asing yang diharuskan untuk mengurus dokumen resmi mereka adalah para pekerja yang menyalahgunakan peruntukan visa mereka atau yang melebihi masa tinggal yang tertera di visa para pekerja asing, atau juga mereka yang tidak memiliki dokumen resmi.

Karena termasuk dalam kategori tersebut, Dina kemudian memutuskan untuk mengurus penggantian pasport miliknya ke Konsulat Jenderal RI sebagai perwakilan pemerintah RI di Jeddah, Arab Saudi.

Namun proses tersebut tidaklah mudah ,mengingat paspor miliknya yang masih berada di tangan dan surat Iqama yang ia pegang juga telah habis masa berlakunya, karena harus diperpanjang setiap tahun.

Dina sadar kalau dirinya kini telah menjadi salah satu tenaga kerja asing yang ilegal karena ketidaklengkapan dokumen yang dimilikinya.

Karena Iqama adalah kartu identitas yang menunjukkan hubungan kerja dengan yang mempekerjakannya, maka dalam kasus Dina yang sudah bekerja di majikan lain, maka Iqama tersebut tidak dapat diperpanjang di kantor keimigrasian Arab Saudi, Jawazad.

Masa amnesti yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi, tidaklah cukup bagi Dina untuk mengurus segala keperluan dokumennya untuk bisa pulang ke Indonesia, karean ia harus berjuang dengan sesama pekerja asal Indonesia yang jumlahnya lebih dari 1,2 juta orang.

Masa amnesti untuk para pekerja asing dari pemerintah Arab Saudi habis pada tanggal 3 November 2013, dan Dina pun masih berstatus "ilegal".

Dengan statusnya yang illegal, Dina tidak tahu harus pergi kemana,

selain mengikuti rekan-rekannya yang bernasib sama untuk berkumpul di pelataran parkir sebuah bekas bandar udara Jeddah, Mator Qodim.

Dari situ, Dina dan rekannya kemudian dijaring oleh pihak kepolisian setempat dan diserahkan kepada "Jawazad" yang kemudian ditempatkan di rumah detensi "Tarhil" selama kurang lebih satu bulan lamanya.

Tarhil adalah sebutan untuk Rumah Detensi Imigrasi di yang terletak di antara jalan raya Jedah-Mekkah, dengan luas sekitar 2 hektare dan dikelilingi oleh dinding beton setinggi 6 meter dan kamera pengawas di setiap sisinya.

Di dalam Tarhil, terdapat 27 blok yang masing-masing blok terdiri dari 75 "Ambar" (asrama) yang berukuran sekitar 10x18 meter yang dipenuhi dengan 36 tempat tidur tingkat untuk 72 orang, dan dilengkapi dengan delapan buah kamar kecil dan dua ruangan untuk berjemur dan ruang makan.

Di dalam Ambar yang juga dilengkapi dengan penyejuk ruangan itu, para penghuninya juga diberikan makan tiga kali sehari dengan menu sesuai kebiasaan makan warga setempat.

Dengan banyaknya warga negara Indonesia yang ditempatkan di Tarhil, pihak perwakilan pemerintah RI tidak hanya diam dan terus melakukan pengawasan serta berupaya mempercepat proses pemulangan mereka ke Tanah Air.

Mengingat penempatan warga asing di Tarhil merupakan kewenangan Kerajaan Arab Saudi beserta instansi terkaitnya, pihak KJRI Jeddah hanya bisa memantau keadaan warganya.

Namun, tidak seperti perwakilan pemerintah dari negara lainnya seperti Filipina, Etopia, Yaman, Nepal, Thailand serta Pakistan, perwakilan Indonesia masih selalu memantau warganya dengan selalu menyiagakan tiga orang petugasnya dalam shift selama 24 jam.

"Kami selalu memantau keadaan para overstay agar kebutuhan mereka selalu terpenuhi, meskipun dengan seadaanya mereka masih bisa makan dan tidur di dalam kamar berkasur yang dilengkapi dengan penyejuk ruangan," ujar Konsul Jenderal RI untuk Jeddah, Dharmakitry Syailendra Putra.

Menurut Dharma, semua proses deportasi ini merupakan sepenuhnya kewenangan pemerintah kerajaan Arab Saudi, dan KJRI hanya dapat memantau prosesnya serta memberikan dukungan untuk mempercepat pemulangan para Tenaga Kerja Indonesia overstay yang berjumlah sekitar 11.200 orang.

"Awalnya, target kami semua overstay ini dapat dipulangkan dalam waktu delapan hari dengan penerbangan dua kali sehari yang disediakan oleh pemerintah Arab Saudi, namun masih banyaknya kesalahan administrasi maka proses tersebut menjadi lebih lama," ujar Dharma.

Kendati demikian, jumlah tersebut berangsur berkurang hingga pertengahan Desember 2013 pun tersisa hanya sekitar 1.900 WNI di Tarhil dan akan secepatnya dipulangkan.

Oleh Ageng Wibowo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013