Jakarta (ANTARA News) - Direktur Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Eni Rahmaningtyas menilai Indonesia tidak perlu mengaksesi atau meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau karena sudah memiliki PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif.

Eni pada Seminar Dampak Aksesi "Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)" terhadap Industri Tembakau di Jakarta, Selasa, mengatakan PP No.109/2012 saja belum dijalankan sementara sudah ada pemikiran untuk mengaksesi FCTC.

Dijelaskannya, PP tersebut disusun sebagai aplikasi dari FCTC yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Diingatkannya bahwa kondisi setiap negara berbeda sehingga tidak mungkin semua aturan dalam FCTC diratifikasi.

Namun demikian, hal-hal penting pada FCTC sudah tercantum dalam PP yang disusun selama tiga tahun tersebut.

Wacana aksesi FCTC muncul ketika Kementerian Kesehatan mengajukan konvensi pengendalian tembakau tersebut untuk diformalkan menjadi peraturan perundangan. Bentuk peraturannya mungkin dalam peraturan presiden karena kemungkinan diformalkan dalam UU sangat kecil karena kesibukan anggota DPR menjelang Pemilu 2014.

Sementara Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian Nurnowo Paridjo yang juga tampil sebagai pembicara mengatakan tradisi tanam tembakau di Indonesia sudah ada sejak jaman Belanda. Tiga jenis tembakau Indonesia sangat terkenal, yakni Tembakau Deli, Tembakau Voorstenlands dan Tembakau Besuki Na-Oogst.

Tembakau Indonesia menyumbang 34 persen kebutuhan pasar tembakau dunia. Orientasi pemasarannya, fokus pada pasar internasional sebagai bahan baku cerutu (wraper, binder and filler). Tembakau Besuki Na-Oogst yang diusahakan oleh PTPN X dan petani semakin dibutuhkan dan mengisi pangsa pasar internasional.

Dia juga mengingatkan bahwa terdapat sekitar enam juta pekerja baik secara langsung maupun tidak pada industri tembakau. Komposisi rokok, khususnya kretek juga tidak sepenuhnya tembakau karena sekitar 30-40 persen diantaranya adalah cengkeh.

Dari enam juta orang bekerja di industri tembakau, sekitar 1,5 juta diantaranya adalah petani cengkeh. Sekitar 95 persen produksi cengkeh Indonesia diserap oleh industri rokok.

Cukai Rokok

Pengamat ekonomi Iman Sugema di seminar yang sama mengingatkan pemerintah bahwa sekitar Rp95 triliun APBN berasal dari cukai rokok. Angka tersebut relatif besar karena sekitar sembilan persen dari APBN yang ada.

"Uang itu digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan juga anggaran jaminan sosial nasional pada 2014 nanti," kata Iman. Kontribusi cukai rokok pada APBN 2014 diperkirakan akan mencapai Rp114 triliun.

Dia juga mengingatkan agar Indonesia hati-hati dalam meratifikasi atau mengaksesi konvensi internasional seperti FCTC. Pertanyaannya, apakah konvensi itu baik bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan, apakah baik bagi industri dalam negeri dan terutama apakah baik untuk masyarakat banyak.

Iman mengingatkan perlunya kedaulatan Indonesia dalam menentukan apa yang baik dan buruk bagi dirinya.

"Jangan sesuatu yang datang dari luar dinilai pasti baik bagi rakyat Indonesia. Semua kita harus paham siapa yang menyisihkan dana untuk APBN selama ini. Bukan mereka yang di luar sana, tetapi rakyat Indonesia sendiri. Untuk merekalah kita bekerja," kata Iman.

Sementara pakar hukum internasional dalam pemerhati kebijakan publik Hikmahanto Juwana pada kesempatan yang sama mengatakan perlu dikaji lagi apakah perlu Indonesia meratifikasi FCTC. Dia mengingatkan secara substansi pengendalian tembakau patut didukung terlebih bila pengaruhnya membahayakan generasi muda.

"Namun, apakah Indonesia perlu meratifikasi FCTC?" kata Hikmahanto.

Dia merasa perlu mengingatkan pengambil kebijakan bahwa perjanjian internasional oleh negara-negara tertentu kerap dijadikan instrumen pengganti kolonialisme.

Melalui perjanjian internasional maka suatu negara dapat mengendalikan negara lain, bahkan melakukan intervensi kedaulatan hukum. Indonesia memiliki banyak pengalaman terkait hal ini.

Dia lalu menunjuk UU Hak Kekayaan Intelektual yang diamandemen bukan karena munculnya kesadaran masyarakat Indonesia tetapi karena kewajiban dalam Perjanjian WTO yang didasarkan pada sistem hukum dan praktik di negara maju.

Terkait aksesi FCTC, dia mengingatkan pemerintah agar cermat memahami keberadaan FCTC. "Jangan sampai kedaulatan negara dikompromikan dengan kepentingan negara lain," demikian Hikmahanto.

(E007/M019)

Pewarta: Erafzon SAS
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013