Manado, (ANTARA News) - PT Newmont Minahasa Raya (NMR) memilih buang limbah tailing ke dasar laut, Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut), karena tingkat risiko minim ketimbang bahan beracun tersebut dibuang ke darat. Pembuangan limbah tailing ke dasar laut setelah mendapat izin Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sesuai kajian Analisa Dampak Lingkungan (Amdal), ujar terdakwa Presiden Direktur PT NMR, RBN alias Ness, pada lanjutan sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Jumat (1/9). Di hadapan Ketua Majelis Hakim, Ridwan Damanik SH, terdakwa mengatakan, pembuangan limbah tailing melalui pipa yang disiapkan ke dasar laut di Teluk Buyat. Sebelumnya dilakukan studi lingkungan dan evaluasi dari lembaga pemerintah maupun peneliti dan pihak PT NMR sendiri. "Dibuang ke laut bukan hanya perspektif dari dampak yang minim risiko, tetapi tingkat keamanan terjamin dalam hal kesehatan manusia dan lingkungan," ungkap Ness yang didampingi penerjemah khusus bahasa Indonesia. Bahkan dari pengeluaran biaya ditoksifikasi lebih murah atau hanya sepertiga dari total anggaran yang harus dimanfaatkan pada pembuangan limbah tailing di darat. Menurut Ness yang didampingi penasihat hukum Luhut Pangaribuan SH, Palmer Situmorang SH, Tarman Azis SH, Hery Mangindaan SH dan Olga Sumampouw SH, jika dipaksakan limbah tailing dibuang ke darat resikonya besar karena berkaitan dengan kesehatan petani, masalah tanah dan tanaman serta tidak bisa dihindari curah hujan. Khusus metode pengolahan limbah PT NMR, menurut terdakwa bahwa proses diktosifikasi merupakan bentuk penetralisir bahan beracun seperti sianida. "Diktoksifikasi disetujui penggunaan dari KLH karena usul studi kelayakan PT NMR," jelas Nes yang juga duduk sebagai terdakwa I sebagai Presiden Direktur dan terdakwa II sebagai pribadi. Ness juga banyak dimintai penjelasan dari tim majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) seputar operasional pelaksanaan kegiatan PT NMR sejak tahun 1996 sampai 2004 serta pra kegiatan atau masa eksperimen sejak 1996 sampai 2004. Anggota JPU Purwantha SH, mengatakan, Amdal yang dikeluarkan KLH tidak secara tegas menjelaskan pembuangan atau penempatan limbah di dasar laut, namun baru sebatas pemberian izin untuk merumuskan kembali bentuk penempatan limbah secara baik. Pernyataan Purwantha ditolak terdakwa dengan mengatakan surat amdal dari KLH sudah terkandung didalamnya pembuangan tailing didasar laut. Terdakwa pertama dan kedua didakwa secara formil dan materil melanggar pasal 143 dan 156 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dakwaan primair pasal 41 ayat (1) jo pasal 45, pasal 46 ayat (1) jo pasal 45 dan pasal 47 UU No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.(*)

Copyright © ANTARA 2006