Bangkok (ANTARA News) - Pengunjuk rasa oposisi Thailand memulai aksi "pelumpuhan Bangkok pada Senin, menduduki persimpangan-persimpangan utama di Ibu Kota untuk melengserkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.

Pengunjuk rasa menginginkan Perdana Menteri turun dan memberi jalan bagi pemerintahan sementara, yang akan mengawasi jalannya reformasi untuk mengurangi dominasi politik keluarga Yingluck serta mengatasi meluasnya budaya politik uang.

Ribuan pengunjuk rasa mengibarkan bendera, beberapa mengenakan kaos bertuliskan "Bangkok Shutdown", berkumpul di lokasi-lokasi strategis di kota tersebut, termasuk di luar sebuah pusat perbelanjaan besar yang terbakar saat kerusuhan politik berdarah pada 2010.

"Kami akan berjuang, tidak peduli akan menang atau kalah. Kami tidak akan berkompromi atau menerima negosiasi," kata pemimpin protes Suthep Thaugsuban di hadapan massa pada aksi Minggu malam (12/1) seperti dilansir kantor berita AFP.

Tokoh oposisi --yang menghadapi tuduhan pembunuhan terkait aksi militer mematikan melawan pemrotes saat ia menjabat wakil perdana menteri pada 2010-- siap memimpin massa yang akan bergerak menuju pusat kota pada Senin.

Namun belum jelas berapa banyak dukungan yang akan ia peroleh dari warga, yang khawatir aksi ini akan merugikan mereka.

"Tentu saja ini akan mempengaruhi saya-- saya sangat tertekan. Tidak ada pelanggan yang datang karena mereka tidak bisa datang ke sini," kata pemilik salon kecantikan Tong (69).

Pihak berwenang mengatakan mereka siap menyatakan status darurat jika terjadi kerusuhan baru, dan sekitar dua ribu polisi serta tentara akan dikerahkan untuk menjaga keamanan.

Namun mereka tidak berupaya mencegah para pengunjuk rasa mengambil alih sebagian kota menjelang pemilihan umum 2 Februari yang sudah direncanakan akan mereka ganggu.

Pengunjuk rasa berniat menghalangi karyawan pergi bekerja dan memutus aliran listrik ke kantor-kantor pemerintahan sebagai bagian dalam aksi pelumpuhan itu. Pihak berwenang memperingatkan, aksi ini bisa mengarah pada kerusuhan berdarah.

Beberapa tembakan terdengar di markas oposisi Partai Demokrat yang ditembakkan dari sebuah mobil yang berjalan pada Senin pagi, namun tidak ada yang terluka dalam insiden tersebut.

Seorang anggota tim pengamanan pengunjuk rasa terluka akibat ditembak pada Minggu, setelah terlibat pertengkaran dengan seorang lelaki tak dikenal di dekat lokasi demo, kata polisi.

Delapan orang, termasuk seorang polisi tewas dan puluhan lainnya terluka dalam aksi kekerasan sejak unjuk rasa berlangsung lebih dari dua bulan lalu.

Konflik sipil ini merupakan yang terburuk sejak 2010, ketika lebih dari 90 orang tewas dalam bentrok antara pengunjuk rasa pro-Thaksin dengan militer.

"Situasi ini akan menjadi sangat labil," kata Pavin Chachavalpongpun, mantan diplomat Thailand dan lektorpada Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Kyoto, Jepang.

Ia mengatakan ada risiko "kekerasan politik" dan pengunjuk rasa berada di bawah tekanan untuk meraih tujuan mereka menggeser pemerintah sebelum pemilu, yang diperkirakan akan dimenangi Yingluck.

"Artinya tidak ada jalan untuk mundur bagi pengunjuk rasa, mereka sudah melangkah terlalu jauh," imbuh dia.

Krisis politik saat ini merupakan bagian terkini dalam sejarah ketidakstabilan dan kerusuhan politik yang melanda Thailand sejak kakak laki-laki Yingluck, mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra disingkirkan oleh para jendral pendukung kerajaan tujuh tahun lalu.

Pengusaha jutawan yang beralih menjadi politisi dan tinggal di luar negeri untuk menghindari hukuman penjara atas tuduhan korupsi itu, masih memiliki pendukung kuat terutama di kawasan utara Thailand karena beberapa kebijakan populernya.

Namun ia dicaci di kalangan elit negara dan oleh kalangan kelas menengah, serta warga di wilayah selatan yang menganggapnya otoriter dan menudingnya telah membeli suara.

Para pengunjuk rasa menginginkan sebuah "dewan rakyat" yang ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan serta mengawasi reformasi pemilu yang dinilai setengah-setengah, diantaranya dengan menghentikan dugaan pembelian suara, sebelum pemilu baru digelar sekitar setahun atau 18 bulan lagi.

Kebuntuan ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya penggeseran paksa pemerintah oleh militer atau pengadilan, di negara yang sudah pernah mengalami 18 aksi kudeta sejak 1932.

Polisi mengatakan terdapat 12 rumah sakit, 28 hotel, 24 sekolah dan lima kantor pemadam kebakaran dalam area yang terimbas rencana pelumpuhan itu.

Mereka memperkirakan pada keadaan normal sekitar 700 ribu kendaraan melintasi tujuh lokasi unjuk rasa yang direncanakan di kota yang selalu macet tersebut.

Sebagian besar warga memilih meninggalkan mobil mereka di rumah dan suasana lalu lintas tampak lengang di tengah kota. Angkutan kota Bangkok masih beroperasi dan orang-orang pergi bekerja seperti biasa.

Pelumpuhan tersebut memicu beberapa warga melakukan aksi borong dan kedutaan besar AS menyarankan untuk menumpuk persediaan bahan pangan, air dan obat-obatan selama dua minggu.

(Uu.S022)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014