Sebelum sasi, saat menyelam kami lihat ikan sangat sedikit ... setelah sasi, jumlah ikan meningkat. Bahkan kami juga bisa melihat penyu ...

Manokwari (ANTARA) - Laut masih begitu tenang saat Echon, sapaan Alexander Sitanala, menceburkan diri ke perairan Teluk Doreri yang terletak di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat.

Hanya dengan peralatan menyelam ala kadarnya seperti masker kaca (face mask), pipa nafas (snorkell) dan fins atau sepatu katak, Echon mulai menjelajahi alam bawah laut di sekitar Pulau Nusmapi atau yang lebih dikenal dengan Pulau Lemon.

“Masih banyak ikan, yang besar juga masih banyak,” kata Echon, sesaat setelah muncul di permukaan usai meliuk-liuk di kedalaman laut selama 5 menit lebih.

Melakukan “molo” atau menyelam memang menjadi keseharian pria paruh baya yang jadi Ketua Ketapang Dive Community ini. Baginya, berada di kedalaman laut dalam hitungan 5-10 menit bukan hal yang sulit dilakukan.

Sebagai penyelam sekaligus pemerhati lingkungan, Echon ingin melihat dampak langsung dari tradisi buka sasi yang baru saja dilakukan oleh warga Pulau Lemon.

Sasi itu sendiri dapat diartikan sebagai larangan secara adat untuk mengambil hasil sumber daya alam di sekitar. Sasi diberlakukan sebagai bentuk etika tradisional masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Masyarakat Pulau Nusmapi atau Pulau Lemon sebelumnya telah melakukan upacara tutup sasi sejak 31 Maret 2023.

Itu artinya masyarakat dilarang mengambil hasil laut seperti ikan di seluruh kawasan laut sekitar Pulau Lemon yang seluas 48,830 hektare. Jika ada yang melanggar maka dipercaya warga bahwa pelaku akan mendapatkan bala atau bencana.

Setelah setahun, warga Pulau Lemon kemudian melakukan upacara buka sasi pada 25 Mei 2024. Pada waktu itulah warga dibebaskan untuk menangkap ikan di sekitar Pulau Lemon. Namun, buka sasi juga hanya dibatasi hingga 1 Agustus 2024.

“Sebelum sasi, saat menyelam kami lihat ikan sangat sedikit di daerah itu. Akan tetapi setelah sasi, jumlah ikan meningkat. Bahkan kami juga bisa melihat penyu di situ,” ungkap Echon.

Sembari menikmati kelapa muda segar yang dipetik di sekitar Pulau Lemon, Echon mengakui, sasi yang diinisiasi masyarakat Pulau Lemon dan pihak gereja GKI Bahtera Utrecht merupakan hal positif bagi kelestarian lingkungan.

Sasi merupakan siasat atau cara masyarakat adat untuk menjaga lingkungan dan menjaga habitat dari ekosistem di wilayah bahari Pulau Lemon.

Apalagi sasi tersebut baru kali pertama dilakukan karena ikan-ikan memang sudah semakin menyusut di sekitar Teluk Doreri.

Saat tutup sasi, masyarakat di Pulau Lemon harus mencari ikan lebih jauh dari biasanya. Namun hal itu wajar karena jika tidak ada sasi sama sekali maka ikan-ikan akan benar-benar habis sehingga nelayan justru makin susah mendapatkan ikan.


Menolak sasi

Pemilik hak ulayat Pulau Lemon Joel Rumbobiar menyebut sebagian besar masyarakat di Pulau Lemon, termasuk dirinya, bermata pencarian sebagai nelayan.

Dengan diberlakukan-nya pembukaan sasi, nelayan terpaksa melaut bermil-mil jauhnya sampai ke wilayah perairan kabupaten tetangga seperti Oransbari, Manokwari Selatan, bahkan hingga ke Numfor, Provinsi Papua.

Selain dilarang menangkap ikan di kawasan sasi, nelayan juga diharamkan menangkap ikan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan seperti menggunakan bom, potasium, ataupun merusak karang dengan menggunakan linggis.

“Awalnya sebagian masyarakat Pulau Lemon ini menolak Sasi, tapi setelah kami lakukan komunikasi akhirnya masyarakat setuju bahkan berkomitmen meneruskan sasi pada tahun-tahun mendatang,” katanya.

Sasi selain sebagai upaya konservasi laut juga sekaligus upaya mendatangkan wisatawan. Dengan keberadaan ikan yang berlimpah di sekitar Pulau Lemon, hal itu diyakini dapat menarik minat para penyelam untuk menjelajahi keindahan alam bawah laut di kawasan itu.

Setelah penutupan dan pembukaan sasi yang pertama ini, masyarakat juga disadarkan bahwa ternyata kelangsungan hidup ekosistem bawah laut di Pulau Lemon merupakan harta tak ternilai yang harus dijaga.

Wilayah Sasi di Pulau Lemon. ANTARA/Ali Nur Ichsan

Keterlibatan gereja

Koordinator Urusan Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) GKI Bahtera Utrecht Pulau Nusmapi Yoseph Raubaba mengatakan sasi digagas pihak GKI Bahtera Utrecht dengan didampingi sejumlah LSM seperti Kawal Papua Barat, Ecodefender, Econusa, serta Ketapang Dive Community.

Dari 48,830 hektare luas kawasan laut di pesisir Pulau Lemon yang masuk kawasan sasi, 10,564 hektare di antaranya mencakup terumbu karang dan 37,866 hektare meliputi laut pesisir Pulau Lemon.

Dahulu, warga Pulau Nusmapi atau Pulau Lemon memandang Sasi sebagai upacara adat dengan peran roh leluhur membantu agar biota laut bertambah banyak.

Namun, kini makna sasi bagi warga Pulau Nusmapi lebih luas, yakni sebagai bentuk ucapan syukur dan merawat ciptaan Tuhan.

“Salah satunya hasil ikan itu untuk membantu proses penerimaan dalam jemaat. Apa yang Tuhan punya kita kembalikan ke Tuhan,” tuturnya.

Kepala Distrik Manokwari Timur Amos Andries Rumsayor mewakili Pemkab Manokwari menyatakan Pemerintah mendukung tradisi sasi yang diselenggarakan di Pulau Lemon.

Habitat laut yang selama ini tidak terjaga baik dapat pulih setelah adanya sasi karena selama 1 tahun tidak ada aktivitas eksploitasi laut di wilayah tersebut.

Pulau Lemon memang bagian di Kabupaten Manokwari sehingga upaya warga Pulau Lemon menjaga lingkungan lautnya harus didukung seluruh warga kabupaten ini agar tidak membuang sampah ke laut.

“Pemerintah dan warga harus punya tanggung jawab sama, yaitu menjaga ekosistem laut, khususnya keindahan bawah laut. Lingkungan harus bisa dijaga agar bisa terus bersih,” ujarnya.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024