Mataram (ANTARA News) - Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Pusat, Siswono Yudo Husodo, mengatakan Indonesia bukan hanya berpotensi mencapai swasembada pangan, tetapi juga berpeluang menjadi eksportir produk-produk pertanian tropis sekaligus agroindustri. "Indonesia memiliki potensi amat besar berupa lahan pertanian tropis yang sangat luas meliputi keliling khatulistiwa 40.000 km," katanya di hadapan peserta Seminar Nasional Teknologi Pertanian Sebagai Penegakan Ketahanan Pangan Nasional di Mataram, Selasa. Menurut Siswono yang mantan Menteri Perumahan Rakyat dan Menteri Transmigrasi, dari Sabang sampai Merauke panjang khatulistiwa 8.000 km dan 20 persen khatulistiwa ada di Indonesi, bagian terbesar berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hindia. Pasar pangan tropis dunia, tumbuh sangat pesat karena penduduk dunia setiap 15 tahun tumbuh satu miliar jiwa. Produk pertanian tropis yang potensial untuk diekspor Indonesia antara lain beras, kopi, coklat, gula, jagung, karet, lada putih, lada hitam, pala, minyak sawit dan cengkeh. Yang perlu diandtisipasi adalah persaingan harga di pasaran internasional. Daya saing Indonesia menjadi lemah karena berhadapan dengan pasar tidak fair, misalnya produk susu, biaya untuk membuat susu di Indonesia sekitar Rp1.700 perliter, harga jual Rp1.800 - Rp1.900 perliter, tetapi powder susu Australia masuk Indonesia harganya lebih rendah. Hal itu dapat terjadi karena bunga bank yang tinggi, sementara insentif peternakan tidak ada, negara-negara maju, seperti Asutralia dan AS memberikan aneka subsidi baik langsung maupun tidak langsung kepada sektor pertanian. Dikatakannya kebijakan fiskal perlu dikaji ulang untuk meningkatkan penerimaan APBN, negara meningkatkan pajak dibandingkan target pajak tahun 2005 pada tahun 2006 target pajak naik 180 persen. Pada saat yang sama bunga bank meningkat, karena takut terjadi kemerosotan nilai rupiah dan kegiatan usaha cenderung menurun akibat bunga bank yang tinggi. Kebijakan perpajakan di sektor pertanahan juga perlu ditinjau kembali, penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang lebih tinggi bagi tanah pertanian produktif dan lebih rendah pada tanah yang menganggur tidak mendorong produktivitas. Menyinggung tentang paradigma pertanian, Siswono menjelaskan perubahan paradigma di sektor pertanian mendorong peningkatan skala ekonomi usaha pertanian. Skala usaha pertanian mengalami peningkatan yang sangat besar untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi. Dulu di Pulau Jawa, menanam 500 hektar karet sudah memenuhi skala ekonomi usaha perkebuan karet, sekarang harus lebih luas lagi. Di seektor pertanian terjadi perkembangan di mana pada satu sisi ongkos tenaga kerja meningkat, sementara harga produk pertanian relatif murah. Pada sekitar 15 tahun lalu satu kilogram beras dapat membeli dua bungkus rokok kretek, sekarang satu bungkus rokok harus dibayar dengan satu kilogram beras. Demikian juga satu kilogram gabah kering panen dapat membeli dua kilogram pupuk urea, sekarang jumlah gabah yang sama hanya dapat membeli satu kilogram pupuk urea. (*)

Copyright © ANTARA 2006