Pilkada hanya akan menuai konflik yang berkepanjangan apabila dipaksakan seragam. Karena itu pilkada seyogyanya dilakukan secara beragam sesuai karakter masing-masing daerah,"
Jakarta (ANTARA News) - Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan pilkada yang berlaku seragam (uniformitas) di Indonesia dinilai keliru atau bertentangan dengan fakta keberagaman Indonesia, sehingga Pilkada asimetris atau beragam dinilai lebih tepat diterapkan.

Bupati Musi Rawas, Sumatera Selatan (Sumsel), Dr Ridwan Mukti mengemukakan hal itu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.

Menurut Dr Ridwan Mukti yang belum lama ini meraih doktor ilmu hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembangl dengan disertasi "Sistem Pemilihan Kepala Daerah Beragam di Indonesia, Implikasi Makna Restriktif dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945,"  penerapan hanya pilkada langsung telah terbukti lebih banyak efek negatifnya daripada positifnya.

"Pilkada hanya akan menuai konflik yang berkepanjangan apabila dipaksakan seragam. Karena itu pilkada seyogyanya dilakukan secara beragam sesuai karakter masing-masing daerah," ujarnya.

Pilkada asimetris atau beragam merupakan penggunaan beberapa model pilkada dalam proses pemilihan kepala daerah menurut kecocokan di suatu daerah, dengan memilih salah satu model dipilih DPRD, dipilih langsung, atau dipilih sistem campuran yakni: pemilihan oleh DPRD diperluas, pemilihan langsung dipersempit (popular vote), atau pemilihan oleh adat.

Menurut Ridwan Mukti, berdasarkan penelitiannya, berdasarkan daerah, model pilkada langsung paling tepat dilaksanakan di Pulau Jawa dan Sumatera kecuali untuk Kepulauan Riau yang cocok untuk digunakan sistem perwakilan diperluas. Kemudian model pilkada dengan sstem perwakilan diperluas cocok untuk dilaksanakan di Pulau Bali, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan, termasuk DKI Jakarta mengusulkan sistem perwakilan diperluas.

Model pilkada dengan sistem pilkada langsung dipersempit cocok diterapkan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Untuk model Forum Adat wilayah yang cocok diterapkan adalah di Kabupaten Buleleng (Bali), Kabupaten Baubau (Pulau Buton), Provinsi DIY, dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua. Sementara model pilkada dengan sistem perwakilan DPRD cocok diterapkan di Sumatera Selatan termasuk untuk Provinsi Papua.

Ridwan Mukti juga menyebut, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 telah ditafsirkan secara tidak tepat, parsial dan restriktif oleh UU No 32 Tahun 2004 sehingga konsekuensinya pilkada bermasalah, baik secara praktik atau perilaku, maupun norma, serta bentuk aturannya.

Ketidaktepatan UU No 32 Tahun 2004 ketika melakukan tafsir secara parsial terhadap Pasal 18 ayat (4) yaitu dengan tidak mempertimbangkan 16 pasal lain dalam UUD 1945 menjadi penyebab utama kenapa pilkada tersebut diselenggarakan secara langsung dan diseragamkan adalah karena dibentuk terburu-buru dan setengah diam-diam.
 
"Sesuai latar belakang perumusannya, frasa ‘Dipilih secara demokratis’ dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat, secara tidak langsung oleh DPRD maupun melalui sistemlainnya. Yang terpenting adalah pilkada dilakukan secara jujur dan adil serta sesuai prinsip-prinsip pemilihan adalah cara yang demokratis," sambungnya.
 
Mengenai aturan hukum pilkada asimetris ini, begitu Ridwan Mukti, dilakukan melalui undang-undang yang bersifat umum dan dilaksanakan secara teknis oleh perda masing-masing daerah provinsi atau kabupaten/kota.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014