Ada kesan mereka memaksakan kehendak dan ada agenda lain oleh para anggota dewan jika revisi itu segera disahkan,"
Jakarta (ANTARA News) - Kalangan DPR diminta tidak terburu-buru mengesahkan revisi Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, karena masih banyak pasal yang bersifat ambigu atau bermakna ganda.

Memang masih banyak pasal-pasal dalam KUHAP dan KUHP yang perlu direvisi karena sudah tak lagi sesuai dengan perkembangan politik, hukum dan ekonomi nasional, tetapi pengesahannya RUU-nya tak boleh buru-buru karena akan jadi kontraproduktif, kata Wakil Ketua Pengurus Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia (FPPTPHI), Dr. Laksanto Utomo, SH kepada pers di Jakarta, Minggu.

Menurut Laksanto, forum pendidikan tinggi hukum Indonesia itu bekerjasama dengan Fakultas Hukum Unika Batam akan mengadakan seminar hukum dan deklarasi lembaga tersebut. Pertemuan forum itu tampaknya sudah sepakat untuk menolak percepatan persetujuan revisi KUHAP dan KUHP oleh Komisi III DPR.

Ia mengakui usul pembahasannya itu memang sudah cukup lama, bahkan sudah melalui berbagai kajian akademik, namun para anggota dewan tak perlu buru-buru mengesahkan revisi itu mengingat empat bulan lagi mereka itu harus undur diri.

"Ada kesan mereka memaksakan kehendak dan ada agenda lain oleh para anggota dewan jika revisi itu segera disahkan," katanya.

Laksanto yang juga dekan FH Usahid Jakarta mengatakan, memang ada beberapa pasal yang perlu direvisi, seperti adanya perpanjangan waktu penyidikan, belum jelasnya landasan hukum soal penyadapan KPK, dan juga independensi lembaga KPK, namun ruang perdebatan itu seyogianya diserahkan kepada anggota dewan periode mendatang.

Ia mencontohkan, kewenangan penyadapan kepada warga negara Indonsia, apakah perlu izin hakim atau tidak, apakah jaksa dapat mengajukan banding dalam putusan bebas oleh hakim termasuk juga Pasal 58 yang memperpanjang penyidikan 5x24 jam. Semua itu juga akan dibahas pada pertemuan nanti.

Para ahli hukum dan praktisi seperti Dr. Abraham Samad, Ketua KPK, Taslim Chaniago, anggota Komisi III DPR dan Prof. Dr. Barda Nawawi akan menyoroti minus dan plusnya revisi KUHAP dan KUHP. "Intinya adanya revisi itu ingin menjadikan Indonesia sebagai negara hukum punya landasan kuat untuk menegakkan keadilan dan hukum di masyarakat," katanya.

Sedang pembicara lain, kata Laksanto, FPPTPHI juga menampilkan Kapolri Jenderal Sutarman, Wakil Kejaksaan Agung Andy Nirwanto dan masih banyak lagi praktisi hukum yang akan menyampaikan pendapatnya pada seminar tersebut, Selasa (28/1).

Sebelumnya, mantan praktisi hukum yang kini aktif sebagai pegiat antikorupsi, Asep Iwan Iriawan mengatakan, informasi dari sumber di DPR, dua RUU ini memang sengaja dikebut untuk selesai akhir tahun ini, padahal RUU KUHP memuat 766 pasal dan RUU KUHAP memuat 285 pasal, sehingga total ada 1.051 pasal yang harus dibahas.

"Seribu pasal mau dikebut sebulan, bagaimana caranya? Pasal santet satu saja nggak selesai-selesai," katanya.

Asep Iwan Iriawan, akademisi dan mantan hakim itu mengingatkan, dengan pembahasan ngebut seperti ini, hasilnya tidak mungkin sesuai dengan harapan. Apalagi semangatnya kodifikasi (disatukan red).

"Kodifikasinya menunjukkan kontradiksi. Kalau ini resmi diundang-undangkan, UU Tipikor dan UU KPK hanya bisa bertahan tiga tahun, setelah itu tidak ada lagi. Jadi lembaga KPK tak akan ada lagi karena dinilai menakutkan bagi para koruptor yang punya pengaruh politik," katanya.(*)

Pewarta: Theo Yusuf Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014