belum melihat adanya argumen mendasar mengubah mekanisme pilkada langsung menjadi tidak langsung.
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, menilai sistem demokrasi presidensial Indonesia harus kuat, khususnya penguatan lembaga eksekutif yang tidak boleh tergantung legislatif.

"Ada empat konsekuensi logis agar demokrasi presidensial Indonesia kuat, pertama (pemilu) eksekutif dan legislatif harus simultan. Karena pelaksanaannya tidak boleh terpisah karena pilpres tidak boleh tergantung hasil pileg," kata Syamsuddin Haris di Gedung DPR, Jakarta, Selasa.

Pernyataan Syamsuddin itu diungkapkan dalam diskusi bertajuk "RUU Pilkada: Kemajuan atau Kemunduran Demokrasi" yang diadakan Fraksi PAN, di ruang rapat Fraksi PAN, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta.

Hadir dalam diskusi itu Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi dan Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja.

Syamsuddin menilai selama ini pilpres didikte perolehan suara partai dalam legislatif.

Konsekuensi logis kedua menurut dia, semua jabatan eksekutif harus dipilih langsung, termasuk kepala daerah. Ketiga menurut dia, kepala daerah dan presiden secara konseptual sama, sehingga tidak bisa memberikan otoritasnya kepada wakil.

"Kekuasaan gubernur, bupati/wali kota bukan pada wakilnya. Wakil (memiliki kekuasaan) ketika tidak ada kepala daerah. Keempat, DPRD itu sesuatu yang melekat (dengan kepala daerah) sesuai UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah," ujarnya.

Selain itu dia menilai dirinya belum melihat argumen mendasar mengubah mekanisme pilkada langsung menjadi tidak langsung. Karena menurut dia alasan politik uang tidak bisa menjadi alasan kuat untuk mengubah dari langsung menjadi pemilihan melalui DPRD.

"Apakah dengan tidak pilkada langsung akan menjamin tidak ada politik uang," tandasnya.

Sementara itu, Burhanuddin Muhtadi menegaskan Kementerian Dalam Negeri harus mengamandemen konstitusi apabila ingin pemilihan kepala daerah dilakukan di DPRD. Hal itu menurut dia konstitusi menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

"Di Indonesia terjadi penurunan konflik akibat pilkada, sehingga demokrasi kita lebih baik dibandingkan negara lain seperti Thailand dan Bangladesh," ujarnya.

Menurut dia, daerah akan terjadi instabilitas sosial apabila kepala daerah diturunkan DPRD hasil pilkada tidak langsung.

Abdul Hakam Naja mengatakan pilkada serentak secara nasional pada 2020 merupakan satu isu yang sudah disepakati seluruh fraksi di Komisi II DPR RI. Pelaksanaannya menurut dia dilakukan secara bertahap mulai 2015 sebanyak 279 daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan 2018 sebanyak 244 daerah provinsi dan kabupaten/kota.

"Dengan keputusan MK (pileg dan pilpres serentak) maka isunya cepat bergulit, maka apabila mau pilkada serentak harus pemilihan langsung," ucapnya.

Selain itu menurut dia masih ada pembahasan mengenai politik dinasti, paket atau tidak antara kepala daerah dengan wakilnya, penyelesaian sengketa pilkada, dan dana pilkada.

(I028)

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014