Denpasar (ANTARA News) - Mohamad Cholily alias Hanif alias Yahya Antony (28), salah seorang pelaku aksi peledakan bom di Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis. Vonis majelis hakim yang diketuai IGN Astawa SH, tiga tahun lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Suhadi SH yang sebelumnya meminta agar murid yang juga teman dekat gembong teroris Dr Azahari (almarhum) itu dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Mendapat hukuman 18 tahun, sarjana (S-1) teknik lulusan sebuah perguruan tinggi di Malang, Jawa Tengah itu, tampak menanggapinya dengan senyum-senyum. Tidak hanya itu, Cholily juga sempat menyalami majelis hakim sambil melemparkan senyum lebar, serta berpelukan mesra sambil tertawa-tawa dengan tim penasehat hukum (PH) yang mendampinginya, terdiri atas Mujito Rachman SH dan Bambang Trianto SH. Majelis hakim dalam amar putusannya yang dibacakan secara bergantian selama kurang lebih dua jam, pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa Cholily telah terbukti ambil bagian dalam aksi teror peledakan bom di Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005. Aksi yang dilakukan terdakwa bersama-sama sejumlah rekannya yang tergabung dalam organisasi rahasia Al-Jemaah Al-Islamiah (JI) itu, telah mengakibatkan 20 nyawa melayang dan 151 lainnya mengalami luka-luka. Menurut hakim, sebagai anggota JI yang dibai`at tahun 1999, Cholily tidak saja sempat berlatih merakit bom, tetapi juga sempat tinggal se rumah dengan gembong teroris asal Malaysia, Dr Azahari (almarhum) dan Noordin M Top (buron). "Beberapa pekan sebelum dan setelah bom meledak di Bali, terdakwa sempat tinggal bersama Dr Azahari dan Noordin M Top di rumah kontrakan Jalan Flamboyan Batu, Malang, Jawa Timur," ucapnya. Dalam hal berlatih dan merakit bom di bawah bimbingan Dr Azahari, Cholily telah juga bertindak selaku pembeli sejumlah barang untuk rangkaian membuat bom. "Terdakwa beberapa kali sempat membeli peralatan untuk membuat rangkaian bom. Barang yang dibeli di Toko Zig-Zag dan Toko Bintang Harapan Watch di Malang itu, antara lain baterai, resistor dan timer digital QQ," kata hakim ketua. Di persidangan terungkap, selama berlatih dan sekaligus praktek membuat bom, murid gembong teroris asal Negeri Jiran tersebut berhasil membuat 21 unit bom rakitan. Rumah di Batu Menyinggung rumah yang dipakai sebagai tempat merakit bom sekaligus ditempati Dr Azahari bersama Arman (almarhum) di Batu, Malang, hakim menyebutkan adalah hasil usaha terdakwa Cholily bersama Teddy (buron) dalam mencarikan rumah kontrakan untuk si buronan yang paling dicari oleh polisi. "Terdakwa dan rekannya Teddy yang mencarikan rumah kontrakan untuk Dr Azahari dengan harga sewa Rp3 juta per bulan, terhitung sejak Juli 2005 hingga beberapa pekan setelah bom meledak di Jimbaran dan Kuta," ujar Astawa. Menurut hakim, selama menghuni rumah kontrakan, baik Cholily maupun Teddy dan Arman, kepada pengurus RW setempat memperkenalkan diri dengan nama samaran, serta masing-masing mengaku sebagai mahasiswa pada Universitas Mahamadiyah Malang (UMM). Sementara Dr Azahari, kata jaksa, tidak sempat dilaporkan sebagai orang yang turut menghuni rumah kontrakan tersebut. Di rumah kontrakan di Jalan Flamboyan A1 No.7 Batu, Malang, itulah terdakwa bersama Dr Azahari dan rekannya ambil bagian dalam merakit sejumlah bom. Selanjutnya, kata hakim, pada bulan September 2005, Noordin M Top yang diantar Teddy datang ke rumah kontrakan dan tinggal selama kurang lebih tiga minggu di tempat itu. Akhir September 2005, Noordin M Top dan Teddy pergi meninggalkan rumah kontrakan dengan membawa sejumlah bom hasil rakitan Dr Azahari yang dikerjakan bersama-sama dengan Arman dan terdakwa Cholily. Belakangan, beberapa pekan setelah bom meledak di Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005, Dr Azahari dan Arman tewas dalam penyergapan petugas di rumah kontrakan tersebut. Melihat rentetan perbuatan seperti itu, hakim mengatakan bahwa Cholily adalah terdakwa yang tahu persis sejak tahap perencanaan dari aksi bom Bali II yang meletus 1 Oktober 2005 sekitar pukul 18.30 Wita. Karenanya, terdakwa terbukti melanggar pasal 6 Undang Undang No.15 tahun 2003 tetang pemberantasan tindak pidana terorisme, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Untuk itu, hakim menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara dipotong selama yang bersangkutan berada dalam tahanan. Menanggapi vonis hakim, baik terpidana Cholily maupun tim PH-nya, menyatakan pikir-pikir dulu. Ini artinya, murid Dr Azahari itu belum mengambil keputusan yang tegas apakah dia menerima atau sebaliknya menolak putusan tersebut. Bila menolak, terpidana diberi batas waktu sepekan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. (*)

Copyright © ANTARA 2006