Di sebuah jalanan yang hancur di Kota Khan Younis, Gaza selatan, dia menjual cincin emasnya yang berharga ke pedagang perhiasan. Keseluruhan prosesnya hanya memakan waktu beberapa menit, namun rasa pedihnya tak kunjung reda.
"Cincin itu adalah warisan terakhir yang saya miliki dari ibu saya, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Saya tidak pernah berpikir untuk menjualnya, tetapi anak-anak saya kelaparan, dan saya membutuhkan uang untuk membelikan mereka sedikit makanan," tutur Samia.
"Konflik memaksa kami melakukan apa pun untuk tetap bertahan hidup. Kenangan tidak bisa menyelamatkan kami dari kematian atau kelaparan," tambahnya, seraya meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu adalah pilihan yang tepat untuk dilakukan.
Delapan bulan lalu, Samia dan keluarganya mengungsi dari rumah mereka di Gaza City di Gaza utara menuju ke pantai Khan Younis untuk mendirikan tenda sementara.
Pada Maret, serangan udara Israel menargetkan sekelompok penduduk setempat di sebuah pasar Khan Younis. Suami Samia saat itu sedang berada di pasar dan kehilangan kaki kanannya akibat serangan tersebut. Cedera parah ini merenggut sumber pendapatan utama keluarganya.
"Selama beberapa bulan ini, kami hidup dalam bencana. Seluruh kebutuhan manusia untuk bertahan hidup menjadi langka di sini," keluh Samia.
Sejak Oktober 2023, tentara Israel telah melakukan agresi berskala besar di daerah kantong pesisir yang terkepung di Palestina itu setelah Hamas melancarkan serangan mendadak di kota-kota Israel yang berdekatan dengan Gaza, yang mengakibatkan sekitar 1.200 orang tewas dan 250 lainnya disandera.
Jumlah warga Palestina yang tewas bertambah menjadi 37.834 orang, dengan 86.858 lainnya mengalami luka-luka. Perang telah menyebabkan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pasar tenaga kerja Palestina dan perekonomian yang lebih luas.
Senada dengan Samia, Alia Amin, seorang wanita berusia 45 tahun asal Deir al-Balah sekaligus ibu dari tujuh anak, juga terpaksa menjual perhiasannya untuk membeli tenda bagi keluarganya. Mereka terpaksa mengungsi dari Al-Mawasi, wilayah pesisir di sebelah barat Rafah, tiga hari lalu.
"Kami harus melarikan diri dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk bertahan hidup," ujarnya kepada Xinhua, seraya mengimbuhkan bahwa suaminya tewas akibat serangan udara Israel di Kota Rafah empat bulan lalu. Untuk bertahan hidup dalam pengungsian yang tiada berujung itu, Alia tidak punya pilihan selain menjual perhiasannya satu per satu.
"Saya baru saja menjual perhiasan terakhir saya," ujar Alia. "Saya tidak tahu bagaimana saya akan mengatasi keadaan bila uang hasil menjual perhiasan ini sudah habis terpakai."
Sama seperti Samia dan Alia, banyak perempuan terpaksa menjual perhiasan mereka untuk menghidupi keluarga. Zuheir, seorang pedagang perhiasan di Khan Younis yang mendirikan kios untuk memperdagangkan emas di wilayah Al-Mawasi, mengatakan bahwa karena perang, para perempuan terpaksa menjual perhiasan mereka dengan harga rendah
"Setiap hari puluhan perempuan datang untuk menjual perhiasan mereka demi mendapatkan uang," kata Zuheir.
Sebelum konflik, perhiasan emas dijual seharga 50 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.355) per gram, namun sekarang hanya 30 dolar AS per gram, ungkap Zuheir. Uang sejumlah itu hanya dapat membeli tidak lebih dari 2 kilogram gula di Gaza utara, menurut data dalam sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Mei.
Para perempuan di Gaza akan segera menjual sisa-sisa perhiasan terakhir yang mereka miliki, dan situasinya akan menjadi makin suram bagi mereka dan keluarga mereka, ujar Zuheir memperingatkan.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024