Jakarta (ANTARA News) - Stres terbukti bisa picu sakit kepala, menurut penelitian terbaru.

Sebenarnya, banyak faktor pemicu sakit kepala seperti  otot yang tegang dan semburan gas beracun.

Namun, stres dipastikan memainkan peran penting yang menyebabkan sakit kepala.

Dalam studi  tersebut, para peneliti mempelajari sebanyak 5.000 orang partisipan di Jerman selama dua tahun.

Mereka mendapati ternyata semakin stres kehidupan seseorang, semakin sering ia mengalami sakit kepala.

"Meningkatnya stres menghasilkan peningkatan frekuensi sakit kepala untuk semua jenis tipe," kata ketua studi dari University of Duisburg-Essen di Jerman, Dr. Sara Schramm, seperti dilansir LiveScience.

Untuk keperluan studi, para peneliti mengelompokkan sakit kepala dalam empat kategori, yakni: sakit kepala karena otot tegang (yang paling umum dialami orang), migrain, kombinasi keduanya dan sakit kepala yang belum diklasifikasikan.

Partisipan studi diteliti selama empat kali dalam setahun dan ditanya berapa kali mengalami sakit kepala dalam tiga bulan terakhir.

Mereka juga diminta memberi peringkat stres mereka pada skala 0-100 (berdasarkan protokol pengukuran stres).

Partisipan yang menderita sakit kepala karena otot tegang merata-ratakan nilai stres mereka 52 dari 100.

Sementara itu, partisipan yang menderita migrain, menilai stres mereka pada skala 62 dari 100.

Berdasarkan hasil studi, para peneliti mengatakan saat obat sakit kepala dapat membantu mengurangi nyeri,maka mengurangi stres dapat mencegah sakit kepala.

"Temuan kami penting untuk mendukung pendekatan manajemen stres pada pasien yang menderita sakit kepala berbagai tipe apapun," ujar Schramm.

Schramm menambahkan, hasil temuan ini menguatkan pendapat bahwa stres dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya gangguan sakit kepala, yang mempercepat perkembangan untuk sakit kepala kronis.

Jadi, penderita sakit kepala kronis dapat mempertimbangkan melakukan yoga ketimbang mengonsumsi aspirin.

Hasil penelitian yang dipublikasikan Rabu ini akan dipresentasikan pada pertemuan penelitian neurologi, pada April mendatang.

Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014