Semakin banyak sertifikat yang dimiliki seorang pelamar kerja, semakin baik peluang mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang terus berubahDepok (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Omas Bulan Samosir menawarkan solusi tingginya tingkat pengangguran penduduk muda berusia 15-24 tahun atau Generasi Z karena adanya ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja.
"Akibatnya, kompetensi lulusan tidak sejalan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini," kata Prof. Omas Bulan Samosir, Ph.D di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Rabu.
Prof. Omas Bulan Samosir menyebut bahwa dinamika pasar tenaga kerja berkembang lebih cepat dibandingkan dengan dinamika kapasitas input tenaga kerja.
Untuk itu, lembaga pendidikan selayaknya memberi bekal pengetahuan bagi angkatan kerja, namun sayangnya mereka seringkali tertinggal dalam merespons kebutuhan pasar. Kurikulum yang dirancang boleh jadi tidak selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan di dunia industri.
“Pengangguran itu berarti tidak atau berhenti berproduksi. Angkatan kerja yang menganggur saat ini, akan menjadi beban apabila terjadi pengangguran dalam skala besar ke depannya," katanya.
Akibatnya, Indonesia Emas akan berisiko tidak tercapai jika terdapat satu generasi yang menjadi sumbat pencapaian pembangunan. Sementara itu, angkatan kerja tersebut diharapkan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi untuk mencapai Indonesia Emas.
Dalam menangani permasalahan ini, pihak-pihak yang terlibat dapat berkolaborasi dan bersinergi, diantaranya adalah institusi pendidikan dan pelatihan vokasional, tenaga kerja, dan pemerintah.
Etos kerja juga harus dibangun untuk memastikan tenaga kerja siap menghadapi dinamika pasar kerja. Selain itu, institusi pendidikan perlu terus memperbarui kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan industri.
Seorang tenaga kerja harus proaktif dalam meningkatkan keterampilan. Di sisi lain, pemerintah harus berperan dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung dunia pendidikan, misalnya memperbaharui kurikulum.
Kendati begitu, Prof. Omas berpendapat bahwa pendidikan formal saja tidak cukup. Sertifikasi vokasional dan pelatihan tambahan sangat diperlukan untuk melengkapi kompetensi lulusan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah menyadari pentingnya hal ini dengan mengakui sertifikat vokasional sebagai bagian dari human capital yang dimiliki oleh pencari kerja.
“Semakin banyak sertifikat yang dimiliki seorang pelamar kerja, semakin baik peluang mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang terus berubah," ujar Omas.
Ia menambahkan, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah bentuk formal dari pendidikan vokasi. Dunia pendidikan masih membutuhkan keahlian vokasional melalui sekolah kejuruan dan tetap relevan untuk menghasilkan angkatan kerja yang kompeten dalam industri.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperluas koneksi langsung antara SMK dengan dunia industri sehingga dapat terlibat dalam membangun kurikulum SMK secara berkala.
“Seharusnya industri dapat langsung bekerja sama dengan sekolah kejuruan dalam membuat atau sebagai manufaktur spare part dari industrinya," katanya.
Sebagai contoh, industri sepeda BMW di Jerman, manufaktur spare part dari sepeda BMW diserahkan kepada sekolah kejuruan dengan cara melatih sekolah kejuruan untuk membuatnya dan harga yang ditawarkan adalah harga pasar.
"Siswa sekolah kejuruan langsung mendapat gaji ketika membuatnya. Namun, Indonesia belum melaksanakan hal dan kerja sama seperti ini, dan dunia pendidikan vokasi kita masih jauh dan sangat jauh dari dunia manufaktur/industri,” ujar Prof. Omas.
Baca juga: Wamenaker: Sistem Informasi Pasar Kerja guna pacu pemberdayaan SDM RI
Baca juga: Menaker Ida akan pelajari fasilitas pelatihan vokasi di China
Baca juga: Kemenperin gelar pameran vokasi industri pacu kompetensi SDM
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024