Jika AS berganti kepemimpinan ke arah lebih Republikan, ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia karena tidak terikat dengan aturan IRA, sehingga kita bisa mengekspor bahan baku baterai ke AS,Jakarta (ANTARA) - Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam mengembangkan industri baterai agar bisa bersaing di pasar global, salah satunya dinamika geopolitik antara Amerika Serikat dan China, kata Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho Pranatyasto.
Saat menjadi pembicara dalam International Battery Summit 2024 di Jakarta, Senin, Toto menjelaskan bahwa kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) Amerika Serikat yang memberikan insentif sebesar 7.500 dolar AS untuk kendaraan listrik (EV) menggunakan bahan baku baterai dalam negeri, menjadi salah satu tantangan bagi Indonesia.
Potensi perubahan pemerintahan AS pasca pemilihan presiden mendatang juga harus menjadi perhatian serius.
“Jika AS berganti kepemimpinan ke arah lebih Republikan, ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia karena tidak terikat dengan aturan IRA, sehingga kita bisa mengekspor bahan baku baterai ke AS,” ujarnya.
Tensi geopolitik AS-China telah mendorong pembentukan blok-blok ekonomi regional.
Situasi ini dapat mengarah pada fragmentasi rantai pasok global dan menciptakan hambatan perdagangan baru bagi industri baterai.
Toto mengatakan, persaingan dua negara adidaya itu juga memicu peningkatan investasi dalam pengembangan teknologi baterai.
Selain geopolitik, tantangan lain yang dihadapi industri baterai Indonesia, menurut Toto, adalah keterbatasan tenaga kerja Indonesia yang ahli dalam produksi baterai.
Toto mencontohkan perusahaan LG di Karawang, Jawa Barat sampai harus mengirimkan ratusan tenaga kerja Indonesia ke Korea Selatan dan China untuk mempelajari produksi sel baterai.
Tantangan berikutnya adalah permintaan domestik untuk kendaraan listrik. Saat ini, jumlah kendaraan listrik di Indonesia masih sangat rendah, sehingga sebagian besar bahan dan sel baterai akan diekspor.
Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 27 ribu kendaraan listrik roda empat dan 100 ribu kendaraan listrik roda dua, yang setara dengan 1,5 gigawatt per jam.
Padahal, menurut Toto, Indonesia memiliki potensi untuk menghasilkan 900 gigawatt per jam.
Selanjutnya, ia menyebut investasi menjadi tantangan lain pengembangan industri baterai Indonesia.
Untuk membangun rantai pasok baterai yang lengkap, mulai dari pertambangan hingga produksi sel baterai, dibutuhkan investasi besar.
Selain itu, untuk bersaing di pasar global, Indonesia juga harus memastikan praktik penambangan tidak merusak lingkungan, memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar, dan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.
“Kami punya potensi produksi (baterai) yang besar. Kami bisa masuk ke pasar AS, China, dan Eropa, tetapi untuk mewujudkannya, kami harus memastikan bahwa kami mematuhi praktik penambangan yang baik,” pungkasnya.
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2024