Menghadapi ketidakpastian ekonomi dan politik global, beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), mengadopsi kebijakan suku bunga tinggi untuk jangka waktu yang lebih lamaJakarta (ANTARA) - Ketua Bidang Organisasi Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Hery Gunardi menyampaikan, industri perbankan nasional harus semakin agile atau lincah dalam menghadapi tantangan dan peluang ekonomi di masa depan, sehingga kondisi ekonomi Indonesia semakin terjaga.
Melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, Hery menjelaskan dinamika ekonomi dan keuangan berubah cepat, baik di tataran global juga nasional. Hal itu tentunya membuka tantangan dan peluang besar bagi industri perbankan.
Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan PDB dunia tahun ini diproyeksikan sekitar 3,2 persen atau sama dengan tahun lalu, namun masih lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2021 dan 2022 yang masing-masing 6,5 persen dan 3,5 persen.
Di sisi lain, Hery juga mengingatkan bahwa eskalasi geopolitik menambah ketidakpastian yang membayangi prospek ekonomi di masa depan.
“Menghadapi ketidakpastian ekonomi dan politik global, beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), mengadopsi kebijakan suku bunga tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama atau higher for longer,” kata Hery yang juga merupakan Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI).
Dia menambahkan, ketidakpastian pada arah kebijakan moneter dan fiskal global juga terus menguat mengingat sejumlah negara pada tahun ini dan tahun depan, termasuk AS, menyelenggarakan pemilihan presiden.
Meski begitu, World Bank dan IMF memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh 5,0 persen pada 2024 sementara Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tanah Air berada di rentang 4,7 persen hingga 5,5 persen di tahun ini.
Hery menjelaskan, konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap kuat meski terindikasi sedikit menurun pada kuartal II 2024, terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen dan retail sales yang tumbuh relatif lebih lambat. Investasi juga diperkirakan tetap kuat sejalan dengan PMI Manufaktur yang tetap berada pada zona ekspansif.
Di tengah kondisi suku bunga tinggi, Hery mengatakan likuiditas secara makro menurun namun tetap memadai yang terindikasi dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang turun tetapi tetap tinggi.
Dengan likuiditas yang masih memadai secara makro, kata dia, hal ini mendorong intermediasi perbankan tetap tumbuh solid karena didukung kebijakan makroprudensial yang akomodatif.
Namun, terdapat tantangan yang dihadapi perbankan seiring dengan pertumbuhan kredit berupa risiko peningkatan non-performing loan (NPL) sehingga penyaluran kredit harus terus dipantau. Selain itu, tantangan likuiditas terutama terkait pendanaan (funding) perbankan perlu terus dicermati untuk ke depannya.
Berdasarkan data BI, penyaluran kredit pada Juni 2024 tumbuh tinggi sebesar 12,36 persen secara tahunan (year on year/yoy), didorong kuatnya sisi penawaran dan permintaan terutama ditopang kredit korporasi. Sedangkan DPK tumbuh 8,45 persen yoy pada periode yang sama. Adapun loan to deposit ratio (LDR) tercatat di level 85,74 persen.
Hery memperkirakan, imbal hasil dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sangat menarik sebagai upaya untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Penerbitan SBN pun tinggi mengingat banyaknya surat berharga negara yang jatuh tempo hingga tiga tahun ke depan.
Oleh sebab itu, kata dia, perbankan perlu terus berinovasi untuk menarik pendanaan (funding) yang selanjutnya digunakan untuk penyaluran kredit. Hery pun mengingatkan adanya potensi peningkatan cost of fund (CoF) perbankan yang berpotensi berdampak pada net interest margin (NIM) perbankan yang menyempit.
Baca juga: OJK nilai optimisme terhadap pertumbuhan dunia usaha tetap tinggi
Baca juga: BI siapkan tambahan insentif KLM jadi Rp280 triliun sampai akhir tahun
Baca juga: Portofolio hijau Bank Mandiri tercatat Rp139 triliun per Juni 2024
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024