Jakarta (ANTARA News) - Perempuan yang menjadi calon legislatif sebaiknya terlebih dulu cukup lama terlibat kegiatan partai politik, bukan hanya bergabung menjelang Pemilu.

"Mari kita masuk parpol, benahi parpol itu sehingga akan menghasilkan caleg-caleg yang paham benar tentang politik. Bukan masuk ketika menjelang Pemilu seperti sekarang," kata peneliti dari Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) Ruth Indiah Rahayu.

Ruth mengkritisi banyaknya caleg perempuan yang melamar maupun dipinang parpol ketika menjelang Pemilu demi memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam parlemen.

Menurut dia, proses instan itu tidak akan menghasilkan caleg-caleg yang mampu memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.

Lebih lanjut dia mengemukakan banyak perempuan yang berada di parlemen hanya sebagai suatu bentuk formalitas untuk menyuarakan ide-ide partai politik yang diusungnya, namun tidak spesifik memperjuangkan kepentingan perempuan.

Ia mencontohkan kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai kasus kriminal, bukan dilihat sebagai suatu tanda akan perlu adanya aturan-aturan yang bisa mencegah terjadinya lagi kekerasan tersebut.

Menurut dia, kekerasan terhadap perempuan seharusnya mendapatkan perhatian penting dari para anggota parlemen perempuan dengan menghasilkan produk perundang-undangan yang mampu melindungi perempuan.

"Tahun 2009, di DPR ada 18 persen anggota legislatif perempuan, tapi apakah kebijakan para anggota legislatif perempuan di DPR ini sudah menghasilkan 18 persen kebijakan untuk perempuan? Saya kira belum," kata aktivis perempuan itu.

Sementara menurut anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Okky Asokawati, rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif di antaranya akibat keterbatasan ekonomi.

Keterbatasan ekonomi membuat perempuan tidak memiliki modal yang cukup dalam mensosialisasikan diri kepada masyarakat.

Dia mengakui mengakui sistem politik di Indonesia masih erat kaitannya dengan politik uang, padahal seharusnya pertarungan politik adalah pertarungan gagasan.

"Saya waktu nyaleg 2009, saya cuma bawa lima kerudung sebagai hadiah untuk games dan makanan ringan berupa kue-kue kecil. Ada beberapa tempat yang nggak menerima saya, mereka nanya ke saya, Mbak Okky membawa apa? Bahkan sampai sekarang pun masih terjadi hal-hal demikian," kata perempuan berjilbab ini.

Okky pada pemilu 2014 adalah calon anggota legislatif untuk DPR RI dari Dapil DKI Jakarta 2, yaitu meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan luar negeri ini

Dia juga mengatakan banyak perempuan tidak menguasai struktur politik sehingga mudah dikalahkan dalam perolehan suara.

Kendala lain menurut dia adalah masih adanya budaya patriarki di masyarakat sehingga membuat para pemilih cenderung resisten terhadap caleg perempuan.

Menurut dia, untuk meningkatkan jumlah keterlibatan perempuan masuk ke dunia politik diperlukan pendidikan politik sejak dini.

"Penting untuk menggugah kesadaran para perempuan, saya berkeyakinan semakin muda para perempuan sadar dan berempati dengan isu-isu sosial maka akan semakin berani mereka masuk ke ranah politik," katanya.

Dia mengingatkan bahwa berdasarkan sensus kependudukan tahun 2010, jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan yang mencapai 49 persen dari total populasi Indonesia.

Hasil Pemilu 2009 menunjukkan perempuan meraih 101 kursi DPR (18 persen) dan 36 kursi DPD (27 persen). Untuk DPRD Provinsi, perempuan meraih rata-rata 16 persen kursi berdasarkan data dari 33 provinsi.

Sementara untuk DPRD Kabupaten/ Kota rata-rata hanya mencapai 12 persen kursi berdasarkan data dari 487 kabupaten/ kota se-Indonesia.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014