... selama ini yang diketahui hanyalah ada cacing laut yang bisa dimakan tapi tidak tahu seperti apa bentuknya atau pemanfaatannya bagaimana... "
Ambon (ANTARA News) - Masih terlalu banyak kekayaan alam Indonesia yang belum diketahui, apalagi dimanfaatkan; di antaranya khasiar cacing laut, yang diungkap peneliti LIPI,  Joko Pamungkas, di Ambon, Senin. 

"Belum banyak yang tahu, apalagi masyarakat di Indonesia bagian barat, selama ini yang diketahui hanyalah ada cacing laut yang bisa dimakan tapi tidak tahu seperti apa bentuknya atau pemanfaatannya bagaimana," katanya.

Dia mengatakan berdasarkan analis proksimat yang dilakukannya, cacing laut atau Polychaeta sp kaya protein, namun hingga kini hanya orang Maluku yang banyak memanfaatkannya sebagai lauk.

"Biasanya orang Maluku mengenal panen laor dengan timba laor, pada dua hari sesudah purnama. Untuk di Pulau Ambon sendiri, kita bisa menemukannya di Desa Alang, Liliboi, Latuhalat, Hutumuri dan beberapa kawasan lainnya," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, Polychaeta sp hidup dalam terumbu karang pada pantai tropis yang berada dekat dengan Samudera Pasifik. Di Indonesia sendiri ada beberapa daerah yang diketahui menjadi habitat biota laut tersebut, di antaranya Maluku dan Lombok.

Di Maluku, cacing laut tersebut dikenal dengan nama laor, sedangkan di Lombok bernama nyale. Sejauh ini yang paling banyak diteliti adalah yang berada di Maluku.

"Belum ada bahasa Indonesia baku untuk nama hewan ini, biasanya tiap daerah memiliki nama tradisionalnya. Kalau di Maluku ada 54 jenisnya tapi Palola viridis dan Lysidice oele yang paling dominan," ucapnya.

Menurut dia, polychaeta yang berada di perairan Maluku, pertama kali diteliti Rumphius, seorang peneliti Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) keturunan Jerman, dalam Ekspedisi Rhumpius III pada 1977.

Penelitian lanjutan yang lebih mendalam terhadap polychaeta secara keseluruhan baru dilakukan peneliti Jerman lainnya pada 1995.

"Tahun 1995 ada seorang peneliti Jerman yang berhasil menemukan 13 jenis lain Polychaeta, sayangnya tulisannya itu ditulis dalam bahasa Jerman dan hanya tersimpan di museum Hamburg, jadi tidak banyak yang tahu ada temuan itu," ujarnya.

Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014