Pekanbaru (ANTARA News) - Komandan Satgas Pasukan Darat Operasi Darurat Asap Riau Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto mengatakan sedikitnya 450 ton kayu ilegal dari pembalakan liar disita dalam operasi di kawasan konservasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau.

"Jumlahnya terus bertambah, sejauh ini yang berhasil disita sudah lebih dari 450 ton kayu," katanya Antara di Pekanbaru, Rabu.

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu terletak di Kabupaten Siak dan Bengkalis yang memiliki luas lebih dari 700.000 hektare.

Pembentukan kawasan itu, awalnya diusulkan oleh perusahaan kehutanan Sinar Mas Forestry pada 2009, yang akhirnya mendapat pengakuan dari UNESCO.

Agus mengatakan pembalakan liar di kawasan itu mulai terungkap ke permukaan setelah TNI AD menerjunkan operasi khusus setelah Pemprov Riau menetapkan status "Darurat Asap" pada 26 Februari.

"Di sana kami menemukan sekitar 39 kamp pembalakan liar," ujar perwira yang juga Komandan Korem 031/WB itu.

Ratusan ton kayu ilegal itu, katanya, ada yang disita sebagai barang bukti dan sisanya langsung dimusnahkan. Kayu-kayu yang disita umumnya sudah berbentuk papan maupun balok. Pemusnahan dengan dibakar maupun dicincang agar tak bisa digunakan.

"Langsung kita musnahkan," katanya.

Dalam operasi itu, Satgas juga menangkap selusinan pelaku termasuk oknum TNI AD Sersan Mayor Sudigdo yang menjadi "cukong" (pemodal).

Berdasarkan keterangan Digdo, katanya, Satgas mendapat informasi lain mengenai jaringan mafia pembalakan liar, termasuk mendapatkan satu nama pemain lama, yakni Abi Besok yang saat ini penanganannya dilakukan kepolisian.

Mereka juga dibantu oleh oknum aparatur desa setempat yang memperjualbelikan kawasan cagar biosfer.

Aktivitas pembalakan liar dan perambahan itu, akhirnya melakukan pembakaran yang mengakibatkan lebih dari 3.000 hektare kawasan itu hangus terbakar, dimana 800 hektare di antaranya di zona inti.

"Ini sudah mafia karena bekerja secara tertutup dan terorganisir. Mereka tidak akan terbuka kecuali ditekan. Selain Digdo, banyak nama-nama lain yang menguasai sampai 1.000 hektare lebih di kawasan terlarang ini," katanya.

Ia mengatakan adanya pembiaran yang cukup lama oleh pemangku kebijakan maupun aparat, mengubah pola pikir masyarakat setempat menjadi penjarah. Mereka akhirnya diperalat oleh cukong kayu dan merasa apa yang dilakukan hanya untuk bertahan hidup.

"Mereka juga menjadi tidak merasa bersalah," ujarnya.
(F012)

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014