Tangerang (ANTARA News) - Ratusan warga keturunan Tionghoa mendatangi kuburan Tanah Cepek di Tangerang, Banten, untuk melakukan ziarah kubur Ceng Beng atau Ching Bing guna mendoakan serta memberikan sesajen bagi arwah leluhur mereka.

Brdasarkan pantauan, sejak Minggu dini hari warga keturunan Tionghoa tak henti-hentinya mendatangi pemakaman khusus yang dikenal dengan sebutan kuburan cina itu.

Saat tiba di kuburan, warga Tionghoa mempersiapkan sejumlah sesajen, seperti hio dan lilin merah untuk dibakar, kemudian membakar kertas yang digambarkan sebagai uang, menyiapkan jajanan, buah-buahan, sayuran, serta air mineral.

"Makanan yang disajikan adalah yang biasanya disenangi leluhur saat masih hidup," kata Gho Kho Ni, seorang warga keturunan Tionghoa yang ziarah kubur ke makam suaminya.

Ia mengaku hanya sekali setahun mendatangi kuburan suaminya pada saat Ceng Beng ini.

Salim, seorang penjaga pemakaman mengatakan, sejak beberapa hari ini warga keturunan Tionghoa yang ziarah kubur terus berdatangan dari pagi, siang sampai sore hari.

"Sudah beberapa hari kuburan ini dipenuhi warga untuk ziarah dan banyak yang memanen rezeki saat ini," katanya.

Sekalipun Ceng Beng jatuh pada tanggal 5 April, namun sejak 10 hari sebelum tanggal itu, sesuai kepercayaan warga Tionghoa, sudah boleh ziarah kubur.

Menurut Tradisi Tionghoa, setiap 5 April adalah hari Ceng Beng. Dalam bahasa Mandarin Ceng Beng berarti terang dan cerah.

Pada saat itu warga Tionghoa beramai-ramai pergi ke pemakaman orang tua, leluhur untuk melakukan upacara penghormatan.

Upacara penghormatan dilakukan melalui berbagai jenis, misalnya saja dengan membersihkan kuburan, menebarkan sampai membakar kertas yang sering dikenal "gincua" atau kertas perak.

Warga Tionghoa percaya bahwa saat Ceng Beng merupakan hari baik karena cuaca cerah dan bagus serta arwah turun ke bumi.

Bahkan bila ada warga Tionghoa yang tinggal jauh dari kuburan dan sudah merantau, mereka akan berusaha untuk pulang kampung halaman, khususnya demi melakukan upacara penghormatan kepada para leluhur.

Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014