Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi mengungkapkan uang korupsi itu berasal dari biaya pengamanan alat processing untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.
"Terdakwa Helena melakukan pembantuan kejahatan dalam bentuk dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan," ujar Ardito dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
JPU membeberkan, keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.
Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.
JPU menjelaskan Helena mengenal Harvey sejak tahun 2018 dalam sebuah pertemuan di Jakarta Selatan. Setelah pertemuan itu, Harvey sering berkomunikasi dengan Helena dan sempat menyampaikan kepada Helena bahwa akan ada pengiriman uang dari empat perusahaan smelter swasta.
Harvey kemudian meminta bantuan Helena untuk menyiapkan rekening pada PT Quantum Skyline Exchange guna menerima biaya pengamanan dari perusahaan smelter swasta tersebut.
Adapun Harvey merupakan inisiator program kerja sama sewa peralatan processing penglogaman timah antara PT Refined Bangka Tin, empat smelter swasta, dan PT Timah. Peralatan itu dipakai untuk melakukan kegiatan pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Setelah uang masuk ke rekening PT Quantum Skyline Exchange, kata JPU, Helena menukarkan uang tersebut dari rupiah ke mata uang asing, yang seluruhnya kurang lebih 30 juta dolar AS dan kemudian diberikan tunai kepada Harvey secara bertahap melalui pengantaran oleh kurir PT Quantum Skyline Exchange.
Uang itu diantar ke rumah yang beralamat di Jalan Gunawarman Nomor 31-33, Jakarta; kantor PT Refined Bangka Tin di Plaza Marein Sudirman Plaza, Jakarta; dan TCC Tower, Jakarta.
"Atas penukaran uang, Helena melalui PT Quantum Skyline Exchange mendapatkan keuntungan seluruhnya kurang lebih sebesar Rp900 juta dengan perhitungan Rp30 dikalikan dengan 30 juta dolar AS," ucap JPU.
Baca juga: Helena Lim jalani sidang perdana kasus dugaan korupsi timah
Baca juga: Kejari Jaksel limpahkan berkas perkara Helena Lim ke PN Jakpus
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024