Para calon kepala daerah yang akan maju ke Pilkada serentak wajib mengetahui persoalan-persoalan mendasar dalam pembangunan. Hal itu setidaknya menyangkut rencana pembangunan dan aturan keuangan pusat dan daerah menyusul perubahan-perubahan yang akan dilakukan.
Pemahaman masalah keuangan daerah menjadi mutlak bagi seorang kepala daerah yang baru terpilih. Berbagai perubahan tingkat nasional juga mesti diantisipasi karena akan berdampak sampai tingkat daerah.
Soal mendasar pertama dimaksud dalam artikel ini adalah akan hadir dan berlakunya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 menggantikan yang lama. Meskipun, hingga akhir periode kedua masa jabatan Presiden Joko Widodo, RPJPN tersebut belum juga disahkan.
Untuk menggapai mimpi Tahun Emas 2045 yang ditargetkan akan dicapai pada dua dekade mendatang, keselarasan rencana pembangunan nasional dan daerah amat penting.
Kepemimpinan nasional baru akan terbentuk, di tingkat nasional secara resmi presiden dan wakil presiden akan dilantik pada Oktober 2024. Sedang kepala-kepala daerah baru akan resmi bekerja awal 2025 mendatang.
Mengingat Pilkada serentak segera berlangsung, tentu pasangan calon kepala daerah yang bakal bertarung kesulitan menyusun visi dan misi kampanyenya bila mesti mendasarkan diri pada RPJPN. Ini membuka kemungkinan mereka memilih untuk mendasarkan diri pada hal lain seperti tujuan dasar kemerdekaan.
Pada hakekatnya RPJPN merupakan acuan bagi RPJPD sehingga para pemimpin negara tingkat nasional dan daerah mempunyai arah dalam memimpin pembangunan. Mesti ada keselarasan rencana pembangunan di semua tingkat. Tanpa ada acuan itu bukan tak mungkin visi misi yang ditawarkan calon kepala daerah hanya untuk menyenangkan masyarakat dan meraih popularitas.
Meski demikian, muncul keganjilan di beberapa daerah. Di laman resmi beberapa pemerintah daerah, seperti Kabupaten Jember misalnya, muncul informasi bahwa Raperda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Jember 2025-2045 resmi disahkan menjadi Perda oleh eksekutif dan legislatif Kabupaten Jember pada Kamis malam 04 Juli 2024. (https://www.jemberkab.go.id/rpjpd-kabupaten-jember-2025-2045-resmi-disahkan/)
Kondisi demikian menurut Prof Ibnu Maryanto, anggota Dewan Pakar Agenda 45, merupakan keganjilan karena seharusnya perencanaan daerah mengacu pada perencanaan nasional.
Kesulitan lain yang mesti diantisipasi calon kepala daerah adalah masalah keuangan di daerahnya. Berbagai perubahan tengah disiapkan dan sudah diselenggarakan menyangkut pajak, retribusi dan seterusnya.
Dalam Forum Group Discussion (FGD) bertopik "Memperkuat Otonomi Daerah Melalui Pemilihan Kepala Daerah" di Doho, Jember, Jawa Timur beberapa waktu lalu, seorang peserta menuturkan bahwa sejumlah kota di Jawa Timur akan mengalami perubahan pendapatan. Beberapa kota bakal mengalami kenaikan pendapatan, seperti Jember, namun sebaliknya beberapa daerah sekitarnya dapat mengalami penurunan.
Hal itu akan terjadi karena perubahan aturan pembagian penerimaan pajak kendaraan bermotor. Bila semula pemerintah provinsi menerima 60 persen sedang pemerintah kabupaten dan kota menerima sisanya. Aturan baru itu mengatur sebaliknya, sehingga pemerintah kota dan kabupaten menerima 60 persen.
Kondisi ini tentu menimbulkan perbedaan signifikan. Dalam aturan lama pemerintah provinsi menjalankan prinsip pemerataan dalam bentuk insentif fiskal. Namun dengan adanya aturan baru sejumlah daerah mungkin mengalami penurunan pendapatan karena jumlah kendaraan bermotor yang ada sedikit. Sedangkan kota dan kabupaten dengan kendaraan bermotor besar mungkin mendapat keuntungan dari aturan keuangan baru itu.
Penerapan prinsip keadilan tersebut dapat diartikan sebagai wujud gotong-royong antardaerah. “Tapi kini tak ada, daerah yang jumlah kendaraannya kecil APBD-nya malah bisa merosot, sebaliknya kabupaten dan kota yang jumlah kendaraannya banyak akan diuntungkan,” ujar Widarto, politisi PDI Perjuangan yang terpilih menjadi anggota DPRD Jember periode 2024-2029.
Komposisi pembagian hasil pajak yang baru itu bukanlah satu-satunya faktor yang akan menentukan besarnya pendapatan daerah tertentu. Mesti juga diamati beberapa perubahan lain yang juga akan ikut menentukan berapa besar pendapatan sebuah kabupaten dan kota kelak. Perubahan-perubahan yang mungkin akan timbul oleh pemberlakuan UU No:1/2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah penting dicermati.
UU ini mengatur mengenai lingkup hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang meliputi: 1) pemberian sumber penerimaan daerah berupa pajak dan retribusi; 2) pengelolaan Transfer ke Daerah/TKD; 3) pengelolaan belanja daerah; 4) pemberian kewenangan untuk melakukan pembiayaan daerah; dan 5) pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.
Selama ini salah satu indikator yang kerap dibicarakan adalah prosentase Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA). Apabila prosentasenya tinggi kinerja pemerintah daerah tersebut dinilai buruk.
SILPA terjadi karena ada selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode. Tentu disesalkan bila terjadi apalagi dalam porsi yang besar.
Pada dasarnya pemerintahan yang berkualitas adalah adanya kesesuaian antara rencana anggaran dengan realisasinya. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian karena adanya berbagai hal yang mesti diatasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Bahkan menurut Widarto, sisa anggaran itu sebenarnya harus ada untuk kelancaran jalannya roda pemerintahan di masa anggaran tahun depannya.
Hal ini bisa dimaklumi karena keuangan daerah sangat bergantung kepada kelancaran transfer dari pemerintah pusat. Dalam kurun waktu satu tahun ada masa transisi di mana kas pemerintah daerah belum mendapatkan kiriman dana untuk biaya rutin terutama gaji pegawai negeri.
Dana SILPA itu bisa dimanfaatkan untuk lebih dahulu membayar kewajiban gaji tersebut. Kekosongan kas seperti itu biasanya terjadi pada bulan Januari dan Februari saat memasuki tahun anggaran baru.
Di wilayah Provinsi Jawa Timur, kota dan kabupaten yang bisa mandiri karena PAD-nya besar hanya beberapa seperti Kota Surabaya dan Bojonegoro.
Silpa di Bojonegoro pernah mencapai 30%. Hal itu tentu terlalu besar kendati kebutuhan rutin termasuk gaji PNS dan anggota DPRD telah tercukupi kemajuan. Bisa saja SILPA ditekan seminim mungkin dengan syarat ada kelancaran penerimaan dana dari pemerintah pusat.
Kesengajaan membiarkan SILPA tinggi karena dana DAU dan DAK baru muncul mendekati pertengahan tahun anggaran. Pelaksanaan rencana pembangunan kerap baru mulai setelah bulan Agustus atau malah mendekati akhir tahun anggaran. Oleh sebab itu perlu reformasi regulasi keuangan sehingga diharapkan DAU dan DAK dapat diturunkan di awal tahun.
Namun pada intinya para calon kepala daerah dan juga anggota-anggota DPRD mesti mempelajari dengan baik masalah keuangan daerah. UU HKPD 2022 akan mengatur kembali masalah perpajakan dan retribusi daerah.
Saat ini aturan hukum ini masih dalam tahap transisi dan implementasi bertahap di Indonesia.
UU ini bertujuan untuk memperbaiki hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dengan fokus pada pengurangan ketimpangan vertikal dan horizontal, simplifikasi pajak dan retribusi daerah, serta peningkatan kualitas belanja daerah.
*) Donny Iswandono adalah pegiat kelompok masyarakat sipil Agenda 45
Copyright © ANTARA 2024