“Kita mengelola secara cerdas, dan yang sudah terbukti keberhasilannya, salah satu konsepnya yakni pola pengasuhan digital. Itu prinsipnya tiga saja dan gampang sekali untuk diingat, yakni pahami, dukung, dan atur aktivitas anak-anak,” kata Anrilla dalam webinar kelas orang tua hebat bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diikuti di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan, dalam memahami harus dimulai dari diri orang tua dengan menolak pandangan bahwa menggunakan gawai menjadi lebih mudah untuk menyelesaikan pekerjaan dan memberikan anak gawai untuk bisa tenang atau diam.
“Orang tua perlu mengevaluasi dan memastikan penggunaan tepat teknologi digital bagi dirinya sendiri dahulu sebelum membantu anak-anak. Penggunaan yang tepat dapat menunjang kesehatan mental, dan jangan lupa fondasi kesehatan mental,” ujar dia.
Ia mengemukakan, fondasi kesehatan mental di antaranya pola tidur cukup, aktivitas fisik dengan bergerak minimal 60 menit per hari, asupan nutrisi yang cukup, memberikan dan dapatkan dukungan sosial, membuat batasan antara rumah dan kantor, serta menghindari bekerja di tempat tidur.
Pola asuh digital selanjutnya yakni dukung, di mana anak-anak usia dini membutuhkan stimulasi-stimulasi langsung untuk memiliki fungsi eksekutif, yaitu proses mental dan kemampuan kognitif kompleks yang mengatur keterampilan untuk berperilaku atau mencapai tujuan.
“Pada anak pra-sekolah di antaranya fokus dan perhatian, paham dan ingat instruksi, kontrol diri, organisasi dan prioritas, serta pengaturan emosi. Fungsi eksekutif ini dapat diajarkan, dilatih, dan dikembangkan. Syaratnya adalah memberikan kesempatan dan pengalaman melalui asah, asih dan asuh,” ucapnya.
Pola terakhir yakni atur, yang terdiri atas batasi, kelola, dan arahkan.
“Waktu, durasi dan frekuensi bisa menggunakan aplikasi parental monitoring atau control, mesin akses dan isi atau konten, membuat kebijakan dan kontrak penggunaan dengan anak seperti batasan waktu menggunakan gawai sedari awal, memberi pengertian, kemudian baru memberikan fasilitas,” paparnya.
Ia juga menyebutkan hasil studi NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids, di mana 92 persen anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah cenderung mengenal media sosial lebih dini.
“54 persen di antaranya diperkenalkan ke media sosial sebelum mereka berusia enam tahun,” kata dia.
Ia menjelaskan dampak penggunaan teknologi digital pada anak, di antaranya berpengaruh terhadap kesehatan mental, yakni tingkat depresi lebih tinggi yang muncul karena penggunaan media sosial di atas tiga atau empat jam per hari, juga peningkatan risiko perundungan siber, ketergantungan, serta pemborosan waktu.
“Kemudian muncul penyakit yang dipicu oleh penggunaan gawai terlalu lama yaitu tics and tourette syndrome, menurunnya keamanan pribadi dan privasi, penyalahgunaan data-data pribadi, serta menjadi target berlebihan bagi iklan-iklan, juga mendorong perilaku konsumtif dan impulsif,” tuturnya.
Baca juga: KemenPPPA ingatkan batasan pemanfaatan digital pada pola pengasuhan
Baca juga: Psikolog: Keseimbangan teknologi dan kesehatan modal penting asuh anak
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024