Pasalnya, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan berdasarkan audit data penerima pupuk bersubsidi oleh Ombudsman dan Kementerian Pertanian (Kementan), terdapat sekitar 954 ribu petani penerima pupuk bersubsidi yang tidak pernah melakukan penebusan dalam tiga tahun terakhir.
"KTP dapat menjadi alat sah dalam penebusan pupuk bersubsidi, sehingga konsekuensinya tidak diperlukan lagi petani melakukan tanda tangan digital," ujar Yeka dalam Rapat Evaluasi Perkembangan Penyerapan Pupuk Bersubsidi di Jakarta, Selasa (27/8), seperti dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Maka dari itu, ia berharap pemerintah bisa memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses pupuk bersubsidi melalui perubahan petunjuk teknis penyaluran pupuk bersubsidi.
Berdasarkan data PT Pupuk Indonesia, terdapat sekitar 1.200 ton pupuk bersubsidi yang sudah disalurkan, namun tidak lolos tahapan verifikasi dan validasi akibat tanda tangan yang tidak sama dengan KTP.
Di sisi lain, Ombudsman juga telah lama mendorong agar petani dapat mewakilkan penebusan pupuk bersubsidi kepada kelompok tani atau keluarga dengan bukti penebusan yang jelas. Sementara itu, surat kuasa kepada perwakilan kelompok tani dibuat sesederhana mungkin dan tanpa biaya tambahan.
Ia menyebutkan hal tersebut berasal dari aspirasi para petani, pemilik kios, dan tim verifikasi dan evaluasi.
"Mereka berharap agar setiap langkah yang diambil dalam proses ini tetap sederhana dan mudah dipahami, tetapi tidak mengabaikan pentingnya tertib administrasi," tuturnya.
Yeka mengungkapkan serapan pupuk bersubsidi secara keseluruhan masih tergolong rendah dan berpotensi mengakibatkan tidak tercapainya target Kementan untuk meningkatkan produksi pangan. Hingga 9 Agustus 2024, total realisasi penyerapan pupuk bersubsidi tercatat sebanyak 4,3 juta ton atau 41,95 persen dari alokasi 9,55 juta ton.
"Jika kinerja penyaluran pupuk bersubsidi masih rendah seperti ini, maka akan berimbas terhadap pencapaian target produksi pangan oleh pemerintah," kata Yeka.
Dia mengatakan rendahnya realisasi serapan tersebut antara lain disebabkan oleh lambatnya kepala daerah dalam menerbitkan surat keputusan (SK) alokasi penerima pupuk bersubsidi sesuai penetapan alokasi baru. Tercatat, penyebaran informasi tentang penambahan alokasi pupuk bersubsidi 9,55 juta ton baru direspons oleh petani pada bulan Juni 2024.
Selain itu, sambung dia, penyebab lain masih rendahnya penyerapan pupuk bersubsidi berupa adanya kebimbangan dan kekhawatiran dari distributor dan kios pupuk bersubsidi lantaran tingginya angka koreksi yang meningkat signifikan dari tahun 2023.
Pada 2023, ia mengatakan koreksi mencapai 4.000 ton, sedangkan periode Januari hingga Juni 2024 sudah mencapai 19.000 ton.
"Angka ini akan terus bertambah apabila petunjuk teknis penyaluran pupuk bersubsidi tidak diubah," ucap dia.
Baca juga: Mentan pastikan tak ada kelangkaan pupuk subsidi di Karawang
Baca juga: Pupuk Indonesia pakai "Dimas" buka pendaftaran penyalur pupuk subsidi
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024