Washington D.C. (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat bagi pengusaha besar asing, termasuk investor kakap dari Amerika Serikat, demokrasi itu merupakan hal nomor dua, karena yang paling diperlukan adalah stabilitas dan keamanan investasi. "Sebab kalau demo terus, anggota DPR marah terus, capek juga pengusaha, apalagi pejabat juga kasih surat terus. Bagi pengusaha (asing) demokrasi nomor dua, yang pertama adalah stabilitas," katanya dalam pertemuan dengan masyarakat Indonesia di KBRI Washington DC, Sabtu malam (Minggu pagi WIB). Seperti dilaporkan wartawan ANTARA Akhmad Kusaeni, dalam dialog terbuka yang dipandu Dubes RI untuk Amerika Serikat, Sudjadnan Parnohadiningrat itu, Wapres mengatakan banyak orang asing menghargai dan memuji Indonesia. Republik Indonesia dikatakan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dan Islamnya sangat moderat. Bahkan sebagaimana dikemukakan Dubes Sudjadnan, para pemimpin AS menempatkan RI sebagai mitra strategis AS dan sahabat penting negeri adidaya itu. "Tapi para pengusahanya melakukan investasi ke China yang sering dituding punya masalah dengan hak asasi manusia," kata Wapres yang kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas sangat diperlukan bagi pengusaha asing untuk bisa menanam modalnya di sebuah negara. Hadir pada pertemuan menjelang buka puasa hari pertama di Amerika Serikat itu Menteri Perdagangan Marie Pangestu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Ketua BPKM Mohammad Lutfi, dan Wakil Tetap RI untuk PBB, Dubes Rezlan Jenie. Menurut Wapres, kondisi stabilitas dan keamanan di Indonesia sudah baik untuk investasi. Indonesia termasuk negara paling aman. Tidak ada lagi daerah yang membutuhkan pengiriman pasukan TNI, sehingga pasukan TNI malah disiapkan untuk membantu keamanan dan perdamaian di Lebanon. "Keamanan Indonesia seperti di London atau Washington sini. Orang kelihatan lebih takut di sini. Lihat saja pemeriksaan di airport tadi sangat ketat," katanya. "Kondisi umum kita baik. Citra belum terlalu bagus, tapi kesempatan maju sangat luar biasa. Tidak ada negara yang punya potensi maju lebih baik dari kita. Tapi kita sendiri jangan menjelek-jelekan bangsa sendiri," pesannya kepada masyarakat Indonesia yang memadati ruang pertemuan di KBRI itu. Sebagai contoh dikemukakan kasus eksplorasi minyak di Blok Cepu itu adalah untuk kepentingan nasional. Kontrak dengan perusahaan AS ExxonMobil dilakukan semata-mata demi kemanfaatan nasional. "Exxon sebagai kontraktor dapat 15 persen. Lalu sebagai sharing, partisipasi Exxon 40 persen. Bahwa dia untung, ya pasti untung. Tapi yang lebih untung adalah nasional. Yang diuntungkan adalah bangsa, rakyat Jawa Tengah. Dia bakal dapat bagi hasil. Kalau tidak dieksplorasi, minyak itu tetap ada di tanah," jelasnya disambut tepuk tangan hadirin. "Siapa bilang legislatif tidak setuju? Setuju mereka. Kalau ada beberapa saja (anggota DPR, red) yang bicara tidak setuju, bukan berarti DPR tidak setuju. Katakanlah 20 orang tidak setuju, itu bukan berarti DPR tidak setuju. Seperti di Kongres AS di sinilah. Satu dua orang anggota Kongres bicara, bukan berarti itu sikap Kongres AS secara umumnya,? kata Wapres. Logiskan pembangunan Pada kesempatan yang sama, Wapres juga menekankan pentingnya melogiskan pembangunan nasional. "Selama ini, kita tidak logis membangun bangsa," tegasnya. Sebagai contoh disebutkan masalah subsidi yang salah kaprah. Bahkan sebelum BBM dinaikkan tahun lalu, subsidi bisa sampai 50 persen. "Kita menjadi negara komunis terbesar di dunia. Karena hanya negara komunis yang memberi subsidi sebesar itu," katanya lagi-lagi disambut tawa hadirin. Yang juga tidak logis, menurut Kalla, adalah Indonesia memakai minyak untuk listrik yang jumlahnya mencapai sekitar 30 persen. "Kita subsidi besar di situ. Ibu-ibu juga pakai minyak tanah. Padahal harganya hampir sama dengan bahan bakar avtur untuk pesawat terbang. Orang pakai pesawat terbang, kita pakai masak. Ini yang tidak logis," kata Wapres. Ketidaklogisan inilah yang sedang diusahakan pemerintah untuk diubah. Minyak tanah diganti. Elpiji dikira untuk orang kaya karena mahal, sementara ibu-ibu pakai minyak tanah karena murah. Jadi, orang miskin memasak mahal, orang kaya memasak murah. Subsidi puluhan triliun per tahun. Kita ubah yang tidak logis itu, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006