Ini memang hidup yang tidak normal, tapi apa salahnya jadi orang tidak normal?
Jakarta (ANTARA News) - Lima tahun lamanya Dina Rosita dan suaminya Ryan Koudys yang berasal dari Kanada menjalani hidup sebagai backpacker, menjelajahi lebih dari 45 negara hanya dengan ransel. 

Pasangan berjuluk Dua Ransel ini memilih hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain sejak April 2009.

Suami istri lain mungkin hidup dengan menapaki karir lalu membangun rumah dan mengisinya dengan harta benda serta membesarkan anak-anak mereka. Tapi tidak begitu dengan Dua Ransel.

Mereka menjalani kehidupan sebagai suami istri dengan berpetualang mendaki tebing di El Nido Filipina, sempat terseret arus saat paddleboarding di Honduras, dan bergabung dalam barisan para demonstran di Bangkok.

Ada banyak hal yang harus mereka korbankan untuk menjalani pilihan itu.

Mereka harus rela berjauhan dengan orangtua dan teman, tidak punya rumah, dan menjual semua harta benda demi modal keliling dunia.

Barang yang tersisa hanyalah ransel di punggung mereka yang tergolong ringan untuk ukuran perjalanan tahunan. Ransel berukuran delapan kg untuk Ryan dan 13 kg untuk Dina.

"Ini memang hidup yang tidak normal, tapi apa salahnya jadi orang tidak normal?" ujar Dina ditemui di Jakarta pekan ini.

Sebelum memutuskan menjadi backpacker, keduanya menjalani hidup sebagaimana umumnya.

Dina, yang berasal dari Surabaya, bertemu dengan Ryan saat pertukaran pelajar di Jepang. Mereka menikah tahun 2002 lalu tinggal di Kanada dan menjalani aktivitas masing-masing.

Dina yang jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung berkutat dengan pekerjaan di laboratorium sementara Ryan bekerja di perusahaan perangkat lunak.

"Modal awal kami adalah tabungan seumur hidup," ungkap Dina.

Dia dan suami mengumpulkan uang dan hidup hemat sejak menikah, bahkan saat belum berpikir untuk menjadi backpacker.

"Kami tidak mulai dari nol, tapi negatif, karena ada hutang student loan puluhan atau ratusan juta ya," kata Dina.

Keputusan ekstrem mereka tentu mendapat reaksi negatif dari orang terdekat.

Banyak yang pesimistis mereka bisa menjalankan niat itu, ada juga yang menyayangkan keputusan Dina dan Ryan meninggalkan kehidupan yang sudah dibina dengan susah payah.

Namun berkat tekad kuat mereka, semua kekhawatiran itu tidak terbukti.

"Awal-awal, apalagi tahun pertama perjalanan, setiap ngomong ke keluarga dan teman, omongannya membuat semangat runtuh. Bagaimana kehidupan yang sudah dibina?" ujar dia.

"Tapi kalau kita bisa menjalani kehidupan tidak normal seperti ini dan bisa menikmatinya, tidak meminta uang orang lain dan bisa survive, salahnya dimana?"

Urusan dana tidak berhenti di situ.

Dina dan Ryan harus memutar otak agar bisa terus berpindah dalam lima tahun terakhir. Mereka tetap bekerja di jalan.

Keduanya memilih pekerjaan yang dapat dikerjakan dengan modal koneksi Internet. Ryan menjadi programmer sementara Dina menjadi penulis dan fotografer. 


Tak buru-buru

"Travel is not a sprint, a journey is not a marathon, chill out and enjoy the moment." Demikian prinsip melancong Dina dan Ryan yang mereka cantumkan dalam blog Dua Ransel.

Dalam berpetualang, Dina dan Ryan tidak berpatok pada kuantitas tempat atau negara yang mereka singgahi. Gaya mereka santai dan fleksibel serta tidak didikte buku-buku panduan wisata.

Mereka tidak melakukan perjalanan secara terburu-buru supaya bisa pergi ke banyak tempat dalam waktu singkat. Tapi menikmati keberadaan mereka di setiap tempat, berbaur dan merasakan esensi kehidupan masyarakat lokal.

Saat berada di India misalnya, Dina berinteraksi lebih akrab dengan warga saat mengenakan sari.

Masyarakat mengajaknya bercakap-cakap, berfoto bersama, bahkan mengepang rambut dan merapikan sari yang dipakainya.

"Aku ingin menyelami hubungan mereka dengan kehidupan yang berhubungan dengan sejarah dan budaya dengan utuh. Itu sesuatu yang tidak bisa dilihat hanya dengan duduk di bis dalam tur wisata," papar Dina.

Selain itu, pengalaman lain yang bermakna bagi Dina ketika dia berada dalam barisan demonstran antipemerintah di Bangkok bulan Desember tahun lalu.

Awalnya dia tidak menyangka bakal bisa melihat bagian dari sejarah Thailand. Saat mendengar ada demonstrasi di ibu kota Thailand, mereka menangguhkan niat berangkat ke Siem Reap, Kamboja, dan tetap tinggal di Bangkok serta menjadi bagian dari sejarah negara itu.

"Perjalanan ini bukan hanya untuk melihat tempat wisata, tapi melihat kehidupan masyarakat sejujur-jujurnya," kata Dina.

"Dan demonstrasi ini bagian dari sejarah, kami ingin menyaksikan sejarah itu," lanjutnya.

Dia pun mencari informasi di mana saja demonstrasi berlangsung. Suatu hal sulit mengingat banyak akses jalan ditutup dan tentu turis tidak diizinkan masuk. 

Berkat seorang kawan orang lokal, Dina dan Ryan dapat bergabung dengan para demonstran. Tidak tanggung-tanggung, mereka berada hanya 2-3 meter dari baris depan.

Dina ingin merasakan sekaligus mengabadikan momen penting tersebut dengan kameranya. Rasa penasaran Dina tentang bagaimana demonstrasi di Thailand terjawab sudah.

"Ternyata keramahan dan sopan-santun mereka tetap luar biasa meskipun dalam suasana demo. Masih bagi-bagi nasi kotak, saat aku tidak sengaja menabrak orang yang membagikan sesuatu yang penting malah dia yang minta maaf," kenangnya.

"Saat melihat tayangan televisi, kayaknya suasana ekstrem banget dengan yel-yel dan teriakan-teriakan. Padahal aslinya habis teriak-teriak ya ketawa dan mengobrol. Suasananya kayak lagi field trip," katanya.


Ikut arus

Dina dan Ryan belum tahu sampai kapan mereka akan menjelajahi dunia. 

"Kalau sudah capek dan enggak ingin keluyuran lagi, ya kita berhenti. Tapi kalau habis itu ingin jalan lagi, ya jalan lagi. Toh kami sudah tidak punya barang lagi," ucapnya.

Prinsip yang sama diterapkan soal anak. Setelah sempat menunda kehamilan, kini mereka memasrahkan diri bila dikaruniai buah hati di tengah perjalanan ke berbagai negara.

"Go with the flow saja. Siapa sih yang tidak ingin punya anak? Tapi aku santai saja," kata Dina.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014