Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, dampak perubahan iklim di Indonesia menyebabkan anomali suhu udara pada Juli 2024 yang ditunjukkan dengan penurunan suhu secara umum di Indonesia.
Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan berbagai dampak lain, seperti peningkatan suhu, meningkatnya kekeringan, peningkatan volume dan suhu lautan, kepunahan spesies, bencana kelaparan, risiko penyakit kerusakan ekosistem, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, gagal panen, dan lain sebagainya.
Di belahan lain Bumi, perubahan iklim juga menimbulkan dampak signifikan, termasuk di negara-negara Afrika, yang menurut African Development Bank Group (AFDB) di situs webnya, menjadi salah satu benua yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Meski berkontribusi paling sedikit terhadap pemanasan global dan memiliki emisi terendah, Afrika menghadapi kerusakan kolateral eksponensial, yang menimbulkan risiko sistemik terhadap ekonominya, investasi infrastruktur, sistem air dan pangan, kesehatan masyarakat, pertanian, dan mata pencaharian, yang mengancam pembangunan dan meningkatkan kemiskinan ekstrem.
Dalam upaya menahan dampak yang lebih besar terhadap kehidupan makhluk hidup di Bumi, banyak upaya dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, organisasi-organisasi, masyarakat, dan lain sebagainya, untuk mendorong aktivitas yang ramah lingkungan, guna memitigasi dampak pemanasan global.
Salah satu upaya yang saat ini tengah didorong adalah kerja sama untuk mengembangkan industri kendaraan listrik.
Dalam upaya pengembangan industri kendaraan listrik, Indonesia perlu menciptakan ekosistem untuk mendukung keberlanjutan industri tersebut, salah satunya dengan memastikan ketersediaan sumber daya mineral yang dibutuhkan untuk pembuatan baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation Toto Nugroho menyatakan pada Diskusi Panel II dalam rangkaian Indonesia-Afrika Forum (IAF) ke-2 di Nusa Dua, Bali, Selasa (2/9), Indonesia pada dasarnya memiliki sumber daya mineral yang cukup memadai untuk pembuatan baterai EV.
Seperti diketahui bersama, pendorong utama pembuatan baterai EV adalah nikel, kobalt, mangan, litium dan grapit.
Indonesia, memiliki sumber daya mineral kritis, seperti nikel, kobalt, dan mangan. Tetapi, Indonesia masih memerlukan sumber daya mineral lain, seperti grafit dan anodes, serta fospat untuk mengembangkan baterai EV.
Salah satu peluang yang sangat baik bagi Indonesia dan Afrika adalah bahwa kedua belah pihak bisa saling melengkapi dalam pengembangan ekosistem baterai.
Selain itu, Indonesia juga perlu bekerja sama dengan produsen-produsen di Afrika untuk mengamankan ketersediaan litium.
Di tengah lonjakan permintaan dari AS, China, dan Eropa untuk sumber daya mineral kritis tersebut, Toto juga menilai bahwa Indonesia dan Afrika perlu bekerja sama lebih jauh untuk menjadi penyuplai bagi ketiga mitra utama tersebut.
Untuk tujuan itulah, Indonesia membuka peluang memperluas kerja sama dengan negara-negara Afrika guna memastikan ketersediaan mineral kritis untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.
Untuk menghasilkan sebuah baterai listrik, kita memerlukan banyak mineral kritis yang tidak terbatas hanya pada nikel, ujar Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Abdul Kadir Jailani dalam konferensi pers di sela-sela IAF ke-2 pada Minggu (1/9).
Ia menyebut bahwa beberapa negara di Afrika juga memiliki banyak potensi mineral kritis yang dibutuhkan untuk pembuatan baterai EV.
Untuk itu, Indonesia terus mendorong kerja sama, termasuk kerja sama yang telah dicapai antara MIND ID dengan Tanzania untuk ketersediaan litium.
Kadir menekankan bahwa kerja sama tersebut menunjukkan kebutuhan mineral kritis yang terus meningkat karena pembuatan baterai EV tidak cukup apabila mengandalkan mineral dari dalam negeri.
Kerja sama energi ini sangat bermanfaat pada Indonesia karena untuk proses transisi energi, negara kita juga memerlukan mineral kritis dan kita ketahui, suplainya tidak hanya negara kita yang memproduksi sendiri.
Sebelumnya pada Senin (29/7), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga menyampaikan minat Indonesia untuk menjadikan Afrika sebagai pasar baterai kendaraan listrik dalam rangka ekspansi industri kendaraan listrik Indonesia.
Populasi penduduk di Afrika diperkirakan akan berlipat ganda pada 2045, sehingga jumlah populasi itu akan menjadi pasar yang besar bagi Indonesia.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia, gencar mengajak negara-negara di Benua Afrika untuk bekerja sama, termasuk dengan melakukan diskusi terkait industri kendaraan listrik.
Mereka melihat Indonesia sebagai negara yang dapat membantu keperluan mereka terkait kebutuhan kendaraan listrik di masa mendatang.
Di sisi lain, Managing Director for Africa di Tony Blair Institute for Global Change Rishon Chimboza mengakui bahwa kawasan Afrika merupakan sebuah kawasan yang memiliki kekayaan mineral yang sangat beragam dan melimpah.
Seiring meningkatnya permintaan global terhadap mineral, terutama mineral penting untuk teknologi energi terbarukan, sektor pertambangan Afrika juga siap memainkan peran penting dalam rantai pasokan global.
Benua tersebut, memiliki cadangan mineral global yang signifikan, termasuk 92 persen platinum, 56 persen kobalt, 70 persen mangan, dan antara 20 hingga 30 persen cadangan grafit global.
Pada 2019 saja, Afrika menghasilkan hampir satu miliar ton mineral senilai lebih dari 400 miliar dolar AS (sekitar Rp6,19 kuadriliun).
Hal yang lebih penting, saat dunia bergulat dengan tantangan lingkungan akibat perubahan iklim, transisi menuju ekonomi nol emisi menjadi satu-satunya solusi yang layak.
Akibatnya, mineral-mineral penting menjadi penyebab utama persaingan global, terutama di tengah revolusi teknologi dan transformasi hijau industri yang sejalan dengan tujuan mencapai masa depan tanpa emisi.
"Selama saya bekerja dengan perusahaan pertambangan dan terlibat dengan sektor tersebut, kebutuhan untuk menambah nilai dan meningkatkan mutu di benua ini tidak berkurang," katanya.
Dengan mengutip penemuan dari Tony Blair Institute, ia menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, kemitraan internasional untuk berbagi manfaat inovasi teknologi berkelanjutan dan pembiayaan dinilai penting untuk keberlanjutan ekosistem.
Oleh karena itu, Menteri Mineral Tanzania Anthony P Mavunde mendorong kerja sama eksplorasi guna memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki dan untuk mengupayakan pertambahan nilai pada mineral penting tersebut.
Satu hal yang paling penting bagi Tanzania adalah penciptaan atau kemajuan dalam pengembangan mineral dengan memastikan bahwa mereka memiliki lebih banyak pengetahuan tentang apa yang dimiliki itu.
Minat untuk menjalin kerja sama eksplorasi juga disampaikan oleh Zimbabwe, dan negara-negara Afrika lainnya.
HLF-MSP dan IAF ke-2 2024 diselenggarakan dari 1-3 September 2024 guna mendorong kerja sama pembangunan dengan negara-negara Afrika.
Melalui forum tersebut, Indonesia berhasil mencapai sejumlah kesepakatan, antara lain penandatanganan empat kesepakatan bisnis di sektor industri strategis, sembilan sektor bisnis kesehatan, dan enam sektor bisnis energi baru terbarukan (EBT), dengan nilai total mencapai lebih dari 3,5 miliar dolar AS (sekitar Rp54,4 triliun).
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024