Di tengah maraknya gaya hidup glamor dan kemewahan yang ditunjukkan oleh banyak pejabat dan keluarganya, rasanya sangat relevan untuk sejenak memandang ke belakang dan melihat kehidupan mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir. Hari ini, 7 September 2024, tepat 74 tahun lalu, pada 7 September 1950 Kabinet Natsir dilantik.
Natsir dikenal kiprahnya dalam politik karena komitmennya terhadap kehidupan sederhana dan integritasnya yang tinggi. Membandingkan sikapnya dengan keadaan sekarang dapat memberikan perspektif berharga tentang bagaimana nilai-nilai kepemimpinan dan gaya hidup pejabat publik seharusnya.
Natsir menjabat Perdana Menteri Indonesia pada periode 1950—1951, merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Ia seorang pemimpin politik yang berperan penting, tokoh Partai Masyumi, pejuang kemerdekaan, dan ulama yang dihormati. Dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri, Natsir dikenal tidak hanya karena kiprah politiknya, tetapi juga karena gaya hidupnya yang jauh dari kemewahan dan kesenangan materi.
Berbeda dengan banyak pejabat saat ini yang sering kali terlihat bergelimang harta dan terjebak dalam gaya hidup glamour, Natsir memilih untuk hidup dengan sederhana dan memfokuskan dirinya pada pengabdian kepada bangsa. Keberpihakan Natsir terhadap kehidupan yang sederhana dan prinsip-prinsip integritasnya menjadi contoh nyata tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya berkomitmen pada nilai-nilai moral dan etika yang tinggi, tanpa terpengaruh oleh godaan kekayaan dan kemewahan.
Matinya Integritas
Sifat integritas dapat dipahami sebagai keselarasan antara apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan, mencerminkan konsistensi dalam sikap dan tindakan. Tindakan yang konsisten dengan nilai-nilai integritas ini melahirkan sembilan prinsip fundamental yang membentuk karakter yang kuat dan dapat diandalkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengelompokkan prinsip dasar ini dalam program yang dikenal dengan nama “Jumat Bersepeda KK,” yang menekankan sembilan nilai utama sebagai fondasi integritas. Nilai-nilai tersebut meliputi:
1. Jujur. Kejujuran, yang mencerminkan keterbukaan dan kebenaran dalam setiap tindakan. Natsir memang istimewa karena keteguhan dan kejujurannya. Ia dengan tegas menolak tawaran hadiah mobil, baik dari seorang pengusaha dan Raja Arab Saudi. Saat ingin memberinya sebuah Chevrolet Impala, Natsir menjawab, “Bantulah umat Islam yang serba kekurangan. Tidak perlu repot-repot memikirkan mobil apa yang pantas dipakai buatku.” Sikap ini mencerminkan dedikasinya yang mendalam terhadap prinsip-prinsip integritas: kejujuran dan kepedulian sosial.
2. Mandiri. Kemandirian, yang menunjukkan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak tanpa bergantung pada pengaruh luar. Dari 1932—1942, Natsir menjabat sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung. Selain merancang kurikulum dan mengajar, Natsir juga mengelola staf pengajar dan berjuang mandiri mencari dana untuk sekolahnya.
3. Tanggung jawab, yang berarti kesiapan untuk menanggung akibat dari tindakan sendiri dan memikul amanah dengan baik. Natsir adalah pendiri dan pemimpin Partai Masyumi, yang merupakan salah satu partai politik penting di Indonesia pada masanya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai tokoh Islam terkemuka yang memainkan peran penting dalam perkembangan politik dan sosial di negara ini. Sebagai pemimpin partai, Natsir berkontribusi besar dalam membentuk arah kebijakan politik serta memperjuangkan kepentingan umat Islam di Indonesia.
4. Berani, Keberanian yang melibatkan keteguhan dalam menghadapi tantangan dan mengambil keputusan sulit. Keberanian Natsir untuk mengoreksi Pemerintah Orde Baru dengan ikut menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980 mengakibatkan ia dikenakan tindakan pencekalan ke luar negeri, tanpa melalui proses pengadilan. Tindakan ini mencerminkan keberanian Natsir dalam membela prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, meskipun harus menghadapi risiko dan pembatasan dari pemerintah yang berkuasa
5. Sederhana, yang mencerminkan gaya hidup tidak berlebihan dan menjauhkan diri dari kemewahan yang tidak perlu. Natsir juga dikenal sebagai pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya. Tindakan ini mencerminkan komitmennya terhadap kesederhanaan dan integritas, menekankan bahwa ia lebih memilih hidup sederhana daripada memanfaatkan fasilitas mewah.
6. Pedulian, yang menandakan perhatian dan empati terhadap kebutuhan orang lain. Pada tahun 1967, Natsir diundang ke Amman, Ibu Kota Jordania, untuk memahami situasi pascaperang enam hari antara Israel dan Mesir. Dalam kesempatan ini, Natsir menunjukkan kepeduliannya terhadap isu Palestina dengan mengangkat solusi untuk menghadapi penjajah Israel. Acara tersebut diakhiri dengan pembentukan delegasi yang terdiri dari perwakilan Jordania, Tunisia, Pakistan, dan Indonesia.
7. Disiplin, yang mencerminkan ketepatan dan keteraturan dalam menjalankan tugas. Natsir dikenal sebagai pembaca buku yang sangat tekun, dengan disiplin yang mengagumkan dalam menyelesaikan satu buku setiap minggu. Kebiasaan ini mencerminkan komitmennya yang mendalam terhadap pembelajaran dan pengembangan diri.
8. Adil. Keadilan, yang menegakkan perlakuan yang setara dan tidak memihak. Natsir berpikir jauh melampaui kepentingan pribadi atau kelompoknya, dengan fokus pada kepentingan umat secara keseluruhan. Ia berusaha berdiri di tengah-tengah perdebatan antara federalisme dan unitarisme, memilih untuk menekankan prinsip keadilan dan persatuan dalam konteks Indonesia. Pendekatannya ini mencerminkan komitmennya untuk menjembatani perbedaan dan mencari solusi yang mengutamakan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan, bukan hanya untuk kelompok tertentu.
9. Kerja keras, yang menunjukkan dedikasi dan usaha yang maksimal dalam mencapai tujuan. Setelah lulus dari HIS, Natsir mengetahui bahwa MULO Padang menawarkan beasiswa untuk siswa dengan nilai bagus dalam uji coba selama tiga hingga enam bulan. Natsir, yang dikenal rajin dan pekerja keras, mengikuti uji coba tersebut dan berhasil mendapatkan beasiswa Rp20 per bulan. Uang beasiswa ini digunakan untuk membantu kakak perempuannya dan membeli buku.
Melihat perilaku hedonis yang sering ditunjukkan oleh banyak pejabat saat ini, kesembilan sifat integritas yang dicontohkan oleh Natsir tampaknya telah terlupakan dan nyaris menghilang dari praktik sehari-hari. Integritas yang dulu menjadi teladan dan dipegang teguh oleh Natsir, kini terasa seperti telah berada di tepi jurang, terpinggirkan oleh gaya hidup glamour dan kemewahan yang mendominasi di kalangan pejabat. Situasi ini menyoroti pergeseran nilai-nilai etika dalam kepemimpinan, yang semakin jauh dari prinsip-prinsip kesederhanaan, kejujuran, dan tanggung jawab yang menjadi ciri khas Natsir.
Integritas dalam kepemimpinan adalah kualitas fundamental yang mencerminkan konsistensi antara kata-kata, tindakan, dan nilai-nilai pribadi. Seorang pemimpin yang memiliki integritas menunjukkan komitmen yang teguh terhadap prinsip-prinsip etika dan moral, menjaga transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil. Integritas ini menciptakan kepercayaan dan kredibilitas di mata pengikutnya, mendorong mereka untuk mengikuti teladan yang baik dan berkontribusi pada keberhasilan bersama. Dengan integritas, seorang pemimpin tidak hanya memimpin dengan efektif, tetapi juga menginspirasi dan memotivasi timnya untuk mencapai tujuan dengan cara yang etis dan berkelanjutan.
Dalam konteks pergeseran nilai yang kita hadapi saat ini, penting bagi kita untuk kembali menegakkan integritas sebagai prinsip dasar dalam kepemimpinan. Mengambil teladan dari Natsir, kita harus berkomitmen pada kesederhanaan, kejujuran, dan tanggung jawab untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas. Hanya dengan mengedepankan integritas, seorang pemimpin dapat menginspirasi dan memotivasi timnya secara efektif, menciptakan dampak positif yang berkelanjutan dalam masyarakat. Saatnya kita mengembalikan nilai-nilai etika dalam kepemimpinan dan menjadikannya fondasi dalam setiap langkah yang diambil.
Untuk mempertahankan integritas dalam kepemimpinan, seorang pemimpin harus menerapkan nilai-nilai yang dicontohkan oleh Natsir, yaitu kejujuran, kemandirian, tanggung jawab, keberanian, kesederhanaan, kepedulian, disiplin, keadilan, dan kerja keras. Mengembalikan prinsip-prinsip integritas, seperti yang ditunjukkan oleh Natsir dapat membangun kepercayaan dan kredibilitas masyarakat terhadap pejabat publik dan keluarganya.
*) Dr Antoni Ludfi Arifin adalah Pendiri Forum Doktor Bisinis Indonesia (FORDOBI), Sekjen Ikatan Doktor Alumni UNJ, Wakil Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), penulis buku Keluarga Berintegritas (KPK), & Associate Professor di Institut STIAMI
Copyright © ANTARA 2024