Jakarta (ANTARA News) - Polemik siapa yang paling pantas menerima Nobel Perdamaian terkait penyelesaian kasus Aceh kemungkinan akan muncul terutama adanya pedapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pantas menerima, tetapi ada juga yang mengatakan Wapres Jusuf Kalla lebih pantas mendapatkannya. "Ini memang susah dipisahkan karena masing-masing mempunyai peran, kalau bisa dua-duanya, bahkan tidak hanya berdua tetapi juga Hassan Tiro karena tanpa dia tidak akan ada perdamaian itu," kata anggota DPR dari FPAN Ahmad Farhan Hamid di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu. Farhan yang merupakan anggota DPR asal Aceh mengatakan peran Wapres dan Presiden itu luar biasa dan pantas menerima Nobel Perdamaian. Dicontohkan selama 30 tahun konflik di Aceh, setiap hari rata-rata orang meninggal empat sampai lima orang, 1.800 orag tewas dalam setahun atau 50.000 orang tewas selama 30 tahun berkonflik. "Kalau sekarang konflik itu berhasil dihentikan berarti dia berhsil menghentikan pembunuhan yang terus terjadi selama 30 tahun itu," katanya. Persoalannya karena Nobel itu hanya satu, kata Farhan, timbul pertanyaan siapa yang paling berhak menerimanya. "Kalla memang mempunyai peran yang besar hingga terwujudnya perdamaian ini, tapi saya yakin semua yang dijalankannya pasti atas persetujuan dan pengetahuan Presiden SBY," katanya. Pengamat politik Fachry Ali sependapat dengan Farhan. Tapi harus disadari selain masalah Nobel Perdamaian, penyelesaian konflik di Aceh itu telah mengugurkan stigma kekuasaan dan kesewenang-wenangan dengan dialogis. "Ini merupakan watak baru dalam menyelesaikan konflik tanpa melalui arogansi tetapi dialog yang intensif," katanya. Fachry juga mengakui peran Jusuf Kalla yang sangat dominan dan langsung menangani hal-hal teknis untuk mencapai perdamaian di Aceh. Apalagi langkah yang ditempuh dalam perjanjian melalui cara di luar konvensi. "Tidak melibatkan diplomat ulung, tidak melibatkan orang Deplu setingkat Dirjen tetapi diambil orang-orang yang benar-benar di luar tugas diplomasi," katanya. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok menilai sebenarnya soal Nobel itu merupakan hal yang biasa. Tetapi dalam konteks kepentingan Indonesia sangat penting karena memberi citra positif bagi bangsa ini. "Kalau Nobel itu nanti benar-benar terwujud diperoleh, maka menjadi hal yang baik karena pertama kali orang Indonesia mendapatkannya," katanya. "Mudah-mudahan ke depan benar-benar menjadi pemicu terwujudnya perdamaian abadi di Aceh," demikian Mubarok.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006