Guru Besar Bidang Rekayasa Pengemasan Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma menegaskan bahwa air dari wadah galon berbahan polikarbonat (PC) aman diminum meski mengandung senyawa Bisphenol A (BPA).
"Meminum air minum dalam kemasan dari galon polikarbonat sama amannya dengan galon Polyethylene Terephthalate (PET)," kata Nugraha dalam diskusi “BPA dan Permasalahan Metabolisme Tubuh: Fakta atau Mitos?” di Jakarta, Selasa.
Nugraha menjelaskan, BPA merupakan bahan baku pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi yang memiliki ketahanan kimia, panas, dan korosi yang sangat baik.
Baca juga: Pakar Polimer ITB: AMDK galon polikarbonat tak terkontaminasi BPA
Selain itu, keuntungan menggunakan polikarbonat di antaranya bahan murah, kuat terhadap benturan, serta menghasilkan plastik bening dan transparan.
Menurut dia, senyawa BPA biasanya terdapat pada wadah makanan dan minuman, botol minum bayi, lapisan kaleng, peralatan olahraga, hingga aksesori otomotif.
Guna meluruskan kesimpangsiuran informasi di masyarakat tentang BPA yang diduga menyebabkan sejumlah risiko kesehatan, Nugraha menyatakan belum ada bukti kuat terkait hal tersebut.
Baca juga: Industri depot air minum komitmen jaga kualitas produk
"Berdasarkan kajian meta analisis, belum cukup kuat bukti dampak BPA terhadap kesehatan," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa otoritas keamanan pangan di Eropa, Amerika, hingga Indonesia memiliki ketentuan masing-masing dalam menentukan batas aman BPA bagi tubuh.
Di Eropa, terdapat perbedaan pandangan ilmiah antara European Food Safety Authority (EFSA) dan European Medicines Agency (EMA) terkait penilaian terhadap senyawa BPA yang ditengarai menyebabkan masalah kesehatan.
Baca juga: Industri AMDK bersinergi pemerintah wujudkan kelestarian lingkungan
Selain itu terdapat pendekatan berbeda dalam kuantifikasi risiko dan penetapan ambang batas aman BPA bagi manusia.
Sementara itu di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah menetapkan batas aman paparan BPA, khususnya pada kemasan makanan dan minuman.
Berdasarkan penelitian Kelompok Studi Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), peluruhan atau migrasi BPA dari kemasan galon polikarbonat ke dalam air minum berada jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan.
Baca juga: BPKN minta BPOM segera sosialisasi kebijakan pelabelan BPA
Nugraha menambahkan, yang terpenting ialah memastikan jumlah migrasi memenuhi aturan batas maksimum yang ditetapkan BPOM.
Selain itu, tubuh manusia juga memiliki kemampuan untuk mendetoks senyawa BPA melalui beberapa mekanisme seperti sulfatase, glucoronodasi, dan lainnya.
"Migrasi BPA paling besar bahkan 56 kali lebih rendah dari batas maksimal yang ditetapkan BPOM," katanya.
Baca juga: Komunitas Konsumen Indonesia apresiasi BPOM terkait label BPA
"Meminum air minum dalam kemasan dari galon polikarbonat sama amannya dengan galon Polyethylene Terephthalate (PET)," kata Nugraha dalam diskusi “BPA dan Permasalahan Metabolisme Tubuh: Fakta atau Mitos?” di Jakarta, Selasa.
Nugraha menjelaskan, BPA merupakan bahan baku pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi yang memiliki ketahanan kimia, panas, dan korosi yang sangat baik.
Baca juga: Pakar Polimer ITB: AMDK galon polikarbonat tak terkontaminasi BPA
Selain itu, keuntungan menggunakan polikarbonat di antaranya bahan murah, kuat terhadap benturan, serta menghasilkan plastik bening dan transparan.
Menurut dia, senyawa BPA biasanya terdapat pada wadah makanan dan minuman, botol minum bayi, lapisan kaleng, peralatan olahraga, hingga aksesori otomotif.
Guna meluruskan kesimpangsiuran informasi di masyarakat tentang BPA yang diduga menyebabkan sejumlah risiko kesehatan, Nugraha menyatakan belum ada bukti kuat terkait hal tersebut.
Baca juga: Industri depot air minum komitmen jaga kualitas produk
"Berdasarkan kajian meta analisis, belum cukup kuat bukti dampak BPA terhadap kesehatan," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa otoritas keamanan pangan di Eropa, Amerika, hingga Indonesia memiliki ketentuan masing-masing dalam menentukan batas aman BPA bagi tubuh.
Di Eropa, terdapat perbedaan pandangan ilmiah antara European Food Safety Authority (EFSA) dan European Medicines Agency (EMA) terkait penilaian terhadap senyawa BPA yang ditengarai menyebabkan masalah kesehatan.
Baca juga: Industri AMDK bersinergi pemerintah wujudkan kelestarian lingkungan
Selain itu terdapat pendekatan berbeda dalam kuantifikasi risiko dan penetapan ambang batas aman BPA bagi manusia.
Sementara itu di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah menetapkan batas aman paparan BPA, khususnya pada kemasan makanan dan minuman.
Berdasarkan penelitian Kelompok Studi Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), peluruhan atau migrasi BPA dari kemasan galon polikarbonat ke dalam air minum berada jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan.
Baca juga: BPKN minta BPOM segera sosialisasi kebijakan pelabelan BPA
Nugraha menambahkan, yang terpenting ialah memastikan jumlah migrasi memenuhi aturan batas maksimum yang ditetapkan BPOM.
Selain itu, tubuh manusia juga memiliki kemampuan untuk mendetoks senyawa BPA melalui beberapa mekanisme seperti sulfatase, glucoronodasi, dan lainnya.
"Migrasi BPA paling besar bahkan 56 kali lebih rendah dari batas maksimal yang ditetapkan BPOM," katanya.
Baca juga: Komunitas Konsumen Indonesia apresiasi BPOM terkait label BPA
Pewarta: Adimas Raditya Fahky P
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024