“Saya kira tidak ada pemimpin yang tidak peduli bahwa ada (program) budaya yang harus terus dilanjutkan,” kata musisi yang biasa dipanggil Ubiet itu di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu.
Ubiet pun mengapresiasi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang sudah menginisiasi rangkaian program “Harmoni untuk Pasifik”.
Mengenai program “Harmoni untuk Pasifik”, Ubiet mengatakan bahwa biasanya publik hanya melihat hasil dari program tersebut tanpa melihat proses yang terjadi di dalamnya karena jarang sekali diungkap dan dibicarakan.
“Jadi program ini sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana mempertemukan pemusik-pemusik dari wilayah Melanesia, Pasifik, (untuk) bertukar bunyi, bertukar cerita-cerita, dan juga bertukar pengetahuan budaya melalui bunyi,” kata Ubiet.
Ubiet mengatakan konsep program tersebut tidak hanya membicarakan persamaan tetapi juga berani mengungkapkan perbedaan dan membicarakan perbedaan tersebut.
“Bukan dihindari, bukan menjadi konflik, tapi menjadi upaya kita untuk memperlihatkan bahwa Indonesia itu memang beragam, kulturnya dan keragaman itu, dan perbedaan itulah yang penting untuk dipertukarkan,” ujar Ubiet.
Sementara itu, peserta dari Indonesia bernama Riluke Noa mengatakan bahwa program “Harmoni untuk Pasifik” dapat mempromosikan budaya-budaya Indonesia, khususnya Indonesia Timur.
Mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta asal Ambon yang biasa dipanggil Noa itu mengatakan bahwa masih banyak hal tentang Indonesia Timur yang masih belum digali lebih dalam.
Noa pun berharap kepada pemerintah, terutama Pemerintah Indonesia yang baru nanti, agar tidak hanya memperhatikan pariwisata di kawasan Indonesia Timur, tetapi juga memperhatikan komunitas-komunitas kecil yang belum mendapatkan dukungan untuk menampilkan karya-karya mereka.
“Harapannya bisa dilihat lagi atau dikumpulkan atau mungkin disatukan untuk melihat aspirasi dari musisi-musisi lainnya … sehingga apa yang mereka keluhkan bisa terjawab,” ujar Noa.
Pada kesempatan yang sama, peserta dari Fiji bernama Sevanaia Tabuakara mengatakan bahwa dia senang sekali bisa ikut berpartisipasi dalam rangkaian program “Harmoni untuk Pasifik”.
Pria yang biasa dipanggil Seva itu juga berpendapat bahwa program “Harmoni untuk Pasifik” bisa memperkuat hubungan masing-masing warga dari negara-negara Asia Pasifik.
“Kita bisa saling memahami cerita masing-masing, apa yang kita alami, dan (program) ini adalah ide yang bagus. Saya tahu kita bisa berkolaborasi,” ujar Seva.
Kemlu RI dan Kemendikbudristek bekerja sama menyelenggarakan rangkaian program “Harmony for the Pacific: Connecting Indonesia and the Pacific through Culture and Shared Heritage” pada 9-28 September 2024.
Program tersebut merupakan kegiatan seni dan budaya, yang difokuskan pada seni musik dan tari, yang ditujukan untuk mempelajari kesamaan dan upaya kolaborasi budaya Melanesia di Indonesia dan Pasifik.
Puncak rangkaian program tersebut akan dilaksanakan pada Resepsi Diplomatik peringatan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Fiji di Kedutaan Besar RI (KBRI) Suva pada 27 September 2024.
Baca juga: Kemlu nilai ada persamaan antara seni musik Indonesia dan Melanesia
Baca juga: RI, negara-negara Melanesia kolaborasi seni dan budaya
Baca juga: Delegasi DPR Indonesia dorong penguatan hubungan dengan Fiji
Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024