Yang Mulia situasinya sangat-sangat gawat! Apabila satu bank jatuh dan sepertinya Bank Century yang akan jatuh maka akan terjadi rentetan penyerbuan ke bank-bank...
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Boediono menyatakan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century pada 2008 mendesak dilakukan karena kondisi perekonomian Indonesia sedang krisis.

"Saya sangat mengerti para pelaksana ini dihadapi situasi mendesak, kalau besok pagi tidak ada (dana) maka bank akan ditutup dan menimbulkan rush, keadaan memang kritis," kata Boediono, yang menjadi Gubernur Bank Indonesia periode 2008-2009, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat.

Dalam sidang itu, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Pulung Rindandoro mempertanyakan keputusan Bank Indonesia (BI) mencairkan dana FPJP untuk Bank Century tanpa dokumen lengkap.

"Rapat pada 20 November 2008 ada pembicaraan dokumen belum lengkap namun FPJP sudah dicairkan BI, apakah dengan ketidaklengkapan dokumen menjadikan FPJP melanggar peraturan Undang-undang?" tanya jaksa.

"Saya kira masalah melanggar atau tidak karena hal yang dilaporkan pada tanggal 20 itu adalah bagaimana memperbaiki dokumentasi saat pencairan," jawab Boediono saat menjadi saksi untuk terdakwa Budi Mulya, mantan Deputi Gubenur BI Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan.

Menurut surat dakwaan terhadap Budi Mulya, pencairan FPJP Century berlangsung dua tahap yaitu Rp356,813 miliar pada 14 November 2008, pada 17 November 2008 sebesar Rp145,26 miliar dan Rp502,703 miliar pada 18 November 2008 sehingga total Rp689,394 miliar.

Pemberian FPJP dilakukan setelah BI mengubah Peraturan BI No. 10/26/PBI/2008 menjadi PBI No.10/30/PBI/2008 sehingga syarat pemberian FPJP cukup dengan rasio kecukupan modal (CAR) positif pada 14 November 2008.

Padahal belum dilakukan pemeriksaan pada dokumen aset kredit yang akan dijadikan agunan oleh para debitur.

"Apakah diperkenankan untuk mengabaikan ketentuan?" tanya Pulung.

"Tidak dalam posisi itu, tapi situasi mendesak karena dihadapkan pada pilihan apakah bank ditutup kemudian rush atau dokumen dilengkapi kemudian. Saat krisis itu yang paling penting adalah kepercayaan masyarakat," jawab Boediono.

"Tapi apakah keadaan 2008-2009 sama (dengan) keadaan 1998-1999?" tanya jaksa KMS Ronni.

"Hampir sama. Saya sudah 30 tahun menangani masalah-masalah ini di pemerintahan di berbagai posisi. Saya yakin kalau hal ini tidak diterapkan maka akan terjadi seperti 97-98 dan biayanya luar biasa. Bukan hanya biaya untuk bank tapi juga sosial dan politik yang besar," ungkap Boediono.

"Tapi di mana bagian krisis 2008?" tanya KMS Roni.

"Bicara ekonomi globalisasi, apa yang terjadi di sudut dunia bisa dalam beberapa jam mempengaruhi tempat lain di sudut dunia lain dan dikaitkan dengan masalah keuangan terjadi cepat sekali konsekuensinya. Indonesia Oktober-November sudah masuk ke pusaran krisis keuangan," jawab Boediono.

"Tapi kenapa dalam krisis tidak pakai Fasilitas Pendanaan Darurat (FPD) tapi menggunakan FPJP yang dari APBN?" tanya KMS Roni.

"FPD belum operasional pada waktu itu. Saat teleconference 13 November 2008 dengan Menkeu (Sri Mulyani) juga dikatakan belum siap kemudian apa yang bisa kita lakukan? Sebenarnya krisis itu mirip-mirip bencana yaitu perlu tanggap darurat, jadi itu yang kita lakukan, krisis harus ditangani dengan langkah-langkah yang tidak biasa," jawab Boediono.

"Pemerintah pernah umumkan pada 2008 bahwa keadaan keuangan krisis?" tanya Roni.

"Saya pribadi tidak ingat tapi pengumuman paling baku adalah lewat Perppu itu adalah karena Indonesia menghadapi dampak krisis keuangan global karena tujuan Perppu untuk menangani situasi yang gawat, yang genting," jawab Boediono.

"Tapi bagaimana penjelasannya disebut krisis karena di konsideran Perppu tidak disebutkan ada krisis?" tanya Roni.

"Saya bukan ahli hukum, saya ekonom, tapi kalau di Perppu dikatakan krisis maka semua akan lari tapi nyatanya bulan Oktober sudah terjadi goyangan-goyangan yang saya sebut tadi. Kalau itu bukan krisis saya tidak tahu apa lagi, kalau 1998 itu sudah chaos," ungkap Boediono.

"Tapi perubahan PBI dilakukan tergesa-gesa selanjutnya antara Surat Edaran internal dan eksternal BI juga dibuat di hari yang sama dan malamnya dilakukan pencairan FPJP tahap satu seberapa mendesak sampai harus segitunya?" tanya Roni.

"Yang Mulia situasinya sangat-sangat gawat! Apabila satu bank jatuh dan sepertinya Bank Century yang akan jatuh maka akan terjadi rentetan penyerbuan ke bank-bank seperti pengalaman situasi 98," jawab Boediono.

"Bagian mana yang paling berwenang menyetujui FPJP?" tanya Roni.

"Di BI ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab, ada bagian di mana Rapat Dewan Gubernur harus memutuskan seperti perbuhan PBI tapi pelaksanaan diserahkan kepada deputi gubernur yang membidangi atau kombinasi deputi gubernur dan yang melaksanakan para direktur yang terkait," jelas Boediono.

"Deputi apa yang membidangi FPJP?" tanya Roni.

"Untuk pelaksanaannya ada tiga deputi gubernur yaitu bidang pengelolaan moneter saudara Budi Mulya, deputi gubernur yang membidangani kredit Pak Budi Rochadi dan juga penting deputi bagian Pengawasan Bank Ibu Fajriah," jawab Boediono.

"Kalau persetujuan FPJP dari siapa?" tanya Roni.

"Yang diputuskan dalam RDG adalah perubahan PBI, di situ ada pembahasan mengenai apa yang ada di hadapan kita, tapi ada juga masalah-masalah yang dibahas dalam rapat marathon sampai pagi itu yaitu perkembangan kemungkinan bank-bank lain dalam situasi seperti itu dan itu landasan perubahan PBI kita ingin ada aturan di mana likuiditas itu tersedia untuk bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam situasi krisis," jawab Boediono.

"Bank Century mengajukan repo, tapi kenapa yang terjadi yang dikucurkan malah FPJP?" tanya Roni.

"Saya tidak sampai kepada tahap dimana administrasi seperti itu. Yang saya tangani apakah permintaan repo aset kredit atau FPJP itu tataran administratif? Kalau repo aset kredit esensinya juga adalah FPJP tapi saya tidak sampai ke situ karena saya memang tidak menangani," demikian Boediono.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014